Monday, December 1, 2008

"The Glamour is Back!"

Victoria's Secret Fashion Show: "The Glamour is Back!"
gettyimages
Koleksi victoria secret
/
Artikel Terkait:

* Product (RED): The Bono Way to Save Africa
* It's not Selling anymore, It's Commercialization!
* CNN iReport: When Steve Jobs Had a "Heart Attack"
* Business Exchange: Creating Conversation with Customers
* It's not Promotion anymore, It's Conversation!

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Minggu, 23 November 2008 | 13:17 WIB

ITULAH headline untuk acara Victoria’s Secret Fashion Show (VSFS) tahun 2008 ini. Acara tahunan yang dijuluki sebagai “the world’s most celebrated fashion show” ini akan diselenggarakan pada 3 Desember 2008 di Fountainebleau, Miami Beach, Amerika. VSFS yang disiarkan oleh jaringan televisi CBS ini rencananya menampilkan para Victoria’s Secret (VS) Angels seperti Heidi Klum, Adriana Lima, Marisa Miller, Alessandra Ambrosio, dan masih banyak lagi top model lainnya.

Di sinilah akan ditampilkan bra senilai 5 juta dollar AS yang terdiri dari 3900 intan dan batu rubi senilai 1500 karat! Model yang beruntung mengenakannya adalah Adriana Lima. Namun, bra yang baru saja diluncurkan pertengahan Oktober lalu itu bukanlah bra termahal yang pernah ditampilkan di acara ini. Pada VSFS 2005, Gisele Bundchen bahkan mengenakan bra senilai 12,5 juta dollar AS! VSFS bukan sekadar fashion show biasa. Daya pikat utamanya memang ada di VS Angels yang cantik dan seksi yang berlenggak-lenggok di catwalk dengan mengenakan koleksi terbaru dari VS. Namun, penataan panggung, musik, bintang tamu, dan pertunjukannya secara keseluruhan memang dikemas dengan sangat spektakuler sehingga sangat berkesan.

Pernah ada VS Angels yang “terbang” dari arah penonton menuju ke panggung. Pernah juga VSFS ini menampilkan pertunjukan layaknya Cirque du Soleil. Dan yang juga selalu ditunggu-tunggu adalah peragaan “angelic wings” yang sudah menjadi ikon VSFS. Ukuran, bentuk, dan desain “angelic wings” ini sangat beragam; mulai dari yang berukuran normal, sangat besar, sayap ala kupu-kupu, atau bahkan seperti burung merak. Bintang tamunya juga tidak main-main. Tahun 2008 ini direncanakan penyanyi kulit hitam yang digandrungi anak muda, Usher, akan tampil. Pada VSFS 2007 lalu, selain Spice Girls dan will.i.am, ada pula Seal yang tampil menyanyi bareng dengan istrinya yang juga salah satu VS Angels, Heidi Klum.

VSFS memang sudah menjadi salah satu ikon budaya populer saat ini. VSFS ini dimulai pada tahun 1995 dan langsung dijuluki oleh pers sebagai the ”lingerie event of the century”. Namun, saat itu konsepnya masih berupa fashion show biasa. Barulah pada VSFS yang diselenggarakan tanggal 3 Februari 1999 diperkenalkan VS Angels, lengkap dengan ”angelic wings”-nya. Di sinilah para super model seperti Laetitia Casta, Heidi Klum, Stephanie Seymour, Karen Mulder, dan Tyra Banks menjadi VS Angels yang pertama.

VSFS 1999 ini juga sangat bersejarah. VSFS ini diselenggarakan di sebuah restoran mewah Cipriani di kawasan Wall Street, dan disiarkan langsung lewat Internet. Inilah pertama kalinya sebuah fashion show ditayangkan secara online. Cybercast ini sempat membuat server-nya crash karena hanya dirancang untuk menampung 500 ribu pengunjung, sementara yang mengakses ada sekitar 1,5 juta orang!

Lalu, sejak tahun 2001, VSFS ini digeser waktunya dari semula dekat dengan perayaan Hari Valentine menjadi ke musim menyambut Natal, yaitu sekitar bulan November-Desember. VSFS 2001 inilah yang paling sukses dari sisi jumlah penonton televisi, ditonton oleh sekitar 12,4 juta orang. Sementara VSFS 2006 disaksikan oleh 6,8 juta orang, dan pada tahun 2007 lalu ditonton oleh 7,4 juta pemirsa televisi.

Nah, buat saya, ini menunjukkan bagaimana VS melakukan Commercialization secara kreatif. VS tidak sekadar mencoba menjual produknya. Namun, VS berupaya menjalin ikatan emosional yang kuat dengan para pelanggannya lewat VSFS tadi sehingga pelanggan tidak merasa ”dijuali” oleh VS.

Jangan salah. Pelanggan VS ini sebenarnya ditujukan kepada kaum pria. VS ini didirikan pada tahun 1977 di San Fransisco California oleh Roy Raymond, lulusan Stanford Graduate School of Business. Saat itu ia merasa malu dan jengah kalau hendak membeli pakaian dalam untuk istrinya. Karena itu, Raymond lalu membuka toko pertama VS di Stanford Shopping Center dengan penataan produk dan desain interior sedemikian rupa sehingga kaum pria bisa merasa nyaman kalau hendak berbelanja. Ia pun lalu membuat katalog pesanan lewat surat (mail order) sehingga pelanggan bisa memilih sendiri di rumah. Ketika Internet muncul, VS pun meluncurkan situs VictoriasSecret.com pada tahun 1998. Tentu saja ini semakin disambut oleh pelanggan VS. Tak heran jika situs VS ini langsung menghasilkan keuntungan sejak hari pertama diluncurkan.

Inilah salah satu praktik Commercialization yang terjadi di era New Wave Marketing. Pelanggan merasa bahwa Victoria’s Secret dengan Victoria’s Secret Fashion Show-nya sudah menjadi bagian dari “DNA”-nya sendiri. Perusahaan tidak perlu terlalu repot berjualan, pelanggan juga tidak merasa sedang dijuali sesuatu. Pendeknya, terjadi pertukaran value yang sama-sama menguntungkan antara perusahaan dan pelanggan.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

Business Exchange: Creating Conversation with Customers

Business Exchange: Creating Conversation with Customers
TPGIMAGES
/
Artikel Terkait:

* It's not Promotion anymore, It's Conversation!
* Sellaband: When Musicians Meet Their "Believers"
* High School Musical: Activating the Young Community
* It's not Place anymore, It's Communal Activation!
* Flexible Pricing from Facebook Ads

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Rabu, 19 November 2008 | 07:12 WIB

MAUKAH Anda menaruh produk pesaing di tempat Anda? Saya yakin Anda semua pasti bilang tidak mau. Tapi, hal seperti ini telah dilakukan oleh majalah BusinessWeek lewat layanan terbaru mereka, Business Exchange. Walaupun masih dalam versi Beta, layanan ini sudah menarik banyak peminat. Layanan yang diluncurkan pada 8 September 2008 lalu ini pada dasarnya merupakan sebuah forum diskusi antara para users. Setiap user bisa menciptakan topik untuk kemudian didiskusikan dengan yang lain.

Topiknya sendiri sangat beragam, namun masih terkait dengan bisnis. Misalnya saja masalah resesi, tingginya harga minyak, soal Pemilu Presiden di Amerika, sampai soal Windows 7. Tidak setiap topik atau komentar bisa dimuat. Tim editor dari BusinessWeek akan memeriksanya paling lambat dalam waktu 24 jam, untuk melihat apakah topik atau komentar yang dikirimkan relevan.

Setiap topik, selain diisi oleh komentar atau masukan dari users, juga bisa diperkaya dengan berbagai berita, blog, atau referensi lainnya yang ditambahkan sendiri oleh users. Nah, di sinilah keunikan Business Exchange. Referensi tambahan itu tidak dibatasi hanya dari situs BusinessWeek.com saja, namun bisa juga dari situs lainnya yang sebenarnya merupakan pesaingnya. Pada topik Windows 7 misalnya, ada links ke CNET, PC World, New York Times, dan lainnya.

Padahal, dalam bisnis media online, click rate merupakan salah satu ukuran yang dipakai untuk menarik minat pengiklan. Dengan menaruh links ke para pesaing di situsnya tadi, bisa dibilang, sederhananya, BusinessWeek menaruh produk pesaing di tokonya!

Lantas, kenapa BusinessWeek mau melakukan hal ini? Buat saya ini jelas menunjukkan komitmen BusinessWeek terhadap pelanggannya. Pelanggan BusinessWeek yang mayoritas kalangan profesional disediakan informasi dan insight yang relevan dan luas, tidak peduli dari mana asalnya. Dengan demikian, para users tadi bisa membuat keputusan yang lebih baik dalam soal bisnis, investasi, atau karir mereka.

Selain itu, setiap users Business Exchange ini harus melakukan registrasi terlebih dahulu dan mengisi data diri. Data ini bisa diakses oleh users lainnya sehingga bisa menciptakan networking di antara users sendiri. Bagi saya, Business Exchange ini sangat menarik, karena menggabungkan antara vertical media, user-generated content, dan social networks.

Business Exchange ini punya kredibilitas layaknya vertical media (koran, majalah) karena dikelola oleh BusinessWeek. Users-nya juga jelas identitasnya serta punya kredibilitas karena merupakan para pakar dan profesional di bidangnya masing-masing. Lalu, isinya juga merupakan gabungan dari berita yang ditulis oleh BusinessWeek dan tulisan para users-nya sendiri. Selain itu juga ada pengayaan dari berbagai situs lainnya tadi yang juga punya kredibilitas. Hal seperti ini pada akhirnya mampu menciptakan collective wisdom.

Di lanskap New Wave yang setiap detiknya bisa muncul ribuan informasi di Internet, jelas model Business Exchange ini akan sangat membantu. Pelanggan tidak disodori mentah-mentah informasi sepihak dari pihak perusahaan (baca: BusinessWeek), namun juga tidak begitu saja menerima informasi dari sembarang orang. Karena itu, informasi yang ada di Business Exchange ini merupakan informasi yang sangat berharga yang luas, dalam serta kredibel.

Dan, karena tiap users bisa melakukan koneksi dengan users lainnya, maka ini bisa menciptakan social networking alias membentuk komunitas. Inilah contoh langkah komunikasi yang cerdas dalam era New Wave Marketing. BusinessWeek tidak melakukan langkah promosi besar-besaran, namun lebih memilih membangun dan memperkuat komunitasnya dengan menciptakan Conversation di antara para users (pelanggan)-nya.

Hal inilah yang merupakan perubahan dari bentuk komunikasi yang bersifat ”informing, persuading, reminding” menuju ke ”demonstrating, involving, empowering”; seperti dikatakan Mich Matthews dari Microsoft yang dikutip Joseph Jaffe dalam bukunya Join the Conversation.

Komunikasi yang dilakukan tidak bersifat satu arah dan seolah menganggap bahwa pelanggan akan menerima begitu saja apa-apa yang ditawarkan dan dikatakan. BusinessWeek berupaya melibatkan dan memberdayakan pelanggan dalam suatu komunitas sehingga diharapkan pada akhirnya pelanggan bisa merasakan manfaatnya sendiri.

Bisa dilihat, Conversation bukan sekadar word-of-mouth atau buzz marketing. Dalam Conversation, pelanggan tidak harus bicara soal merek atau merekomendasikan sesuatu. Conversation dalam era New Wave Marketing merupakan kebutuhan bagi seseorang untuk menjadi manusia yang lebih berpengetahuan dan beradab (knowledgeable and civilized).

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

The Hunt for the Pirates of the Caribbean: by Volvo

The Hunt for the Pirates of the Caribbean: by Volvo
Getty Images/ Mark Renders
Volvo
/
Artikel Terkait:

* Victoria's Secret Fashion Show: "The Glamour is Back!"
* Product (RED): The Bono Way to Save Africa
* It's not Selling anymore, It's Commercialization!
* CNN iReport: When Steve Jobs Had a "Heart Attack"
* Business Exchange: Creating Conversation with Customers

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Senin, 24 November 2008 | 06:01 WIB

ANDA tentu tahu trilogi film “Pirates of the Caribbean”, bukan? Film yang dibintangi oleh Johnny Depp, Orlando Bloom, dan Keira Knightley ini memang termasuk salah satu film tersukses dalam sejarah. Secara keseluruhan, ketiga filmnya menghasilkan 2,7 miliar dollar AS!



Rupanya kesuksesan franchise film ini menarik perhatian Volvo. Pada Mei 2007 lalu, untuk mempromosikan produk terbarunya, Volvo XC90 SUV, produsen otomotif asal Swedia ini meluncurkan program yang disebut “The Hunt”. Waktunya memang sengaja berdekatan dengan peluncuran seri terakhir dari trilogi film tadi yang berjudul “Pirates of the Caribbean: At World’s End” yang ditayangkan mulai 25 Mei 2007.



“The Hunt” ini secara garis besar adalah kompetisi adu kepintaran dan adu cepat, di mana pemenangnya akan mendapatkan hadiah emas senilai 50 ribu dollar AS dan sebuah mobil Volvo XC 90!



Nah, “The Hunt” ini dikemas layaknya pencarian sebuah harta karun seperti kisah film “Pirates of the Caribbean”. Kompetisi ini menggabungkan media online dan offline. Peserta diajak untuk memecahkan soal teka-teki (puzzle) yang secara keseluruhannya ada 22 teka-teki.



Pertama-tama peserta diminta untuk mengakses situs www.volvocars.com/thehunt. Di halaman awal ada pilihan negara asal peserta. Ada 22 negara di situ, termasuk Indonesia.



Pilihan negara ini nantinya diperlukan untuk mengambil petunjuk yang ada di dealer Volvo di negara yang bersangkutan. Selain itu, pada babak akhir, dari masing-masing negara hanya akan dipilih satu orang finalis yang berhak mewakili negaranya masing-masing.



Terakhir saya cek, untuk pilihan negara Indonesia di situs “The Hunt” tadi, isinya sudah kosong. Kompetisinya sendiri memang sudah berakhir. Tapi kalau penasaran, Anda bisa meng-klik pilihan negara lainnya. Di situ seluruh teka-tekinya masih ada.



Teka-tekinya sendiri memang sangat unik dan juga sangat susah. Pada setiap teka-teki, kita diminta untuk menemukan angka-angka yang menunjukkan koordinat lokasi berikutnya. Jadi, angka-angka yang didapat di teka-teki nomor 9 misalnya, merupakan koordinat lokasi teka-teki nomor 10. Begitu seterusnya.



Teka-teki ini bukan sekadar semacam teka-teki silang (TTS) atau hitung-hitungan biasa. Ada teka-teki yang berupa visual, ada juga yang berdasarkan suara. Kadang disertai petunjuk, kadang tidak sama sekali. Pada suatu tahap kita juga akan diminta untuk mengambil semacam peta dari dealer Volvo terdekat. Peta ini bukan hanya untuk dilihat saja, namun juga kadang harus dilipat berulang kali, atau bahkan kita tempelkan ke layar komputer atau laptop kita.



Sangat menarik, bukan?



Tak heran kalau “The Hunt” ini mampu menarik ratusan ribu peminat. Muncul sejumlah forum diskusi online yang membahas “The Hunt” ini. Di sini setiap orang tidak segan-segan membagi kiatnya dalam memecahkan sebuah teka-teki.



Ini menunjukkan bahwa walaupun saling berkompetisi, ada semangat kebersamaan di antara peserta yang dilandasi values dan interest yang sama. Rata-rata peserta pasti memiliki intellectual curiosity yang tinggi. Ada semacam kepuasan tersendiri kalau bisa memecahkan teka-teki tersebut, dan kemudian membaginya kepada orang lain.



Mau tahu siapa pemenangnya?



Namanya Alena Zvereva. Wanita asal Rusia inilah yang akhirnya beruntung mendapatkan Volvo XC 90 dan emas senilai 50 ribu dollar AS tadi setelah sebulan berkompetisi.



Nah, bagi saya, “The Hunt” dari Volvo ini menunjukkan praktik yang sempurna dari Taktik Pemasaran dalam era New Wave Marketing untuk memenangkan market share.



“The Hunt” ini tidak sekadar melakukan Diferensiasi, Marketing-Mix (Product, Price, Place, Promotion), dan Selling seperti yang ada dalam Legacy Marketing. “The Hunt” sudah melakukan Coding, Crowd-Combo (Co-Creation, Currency, Communal Activation, Conversation), dan Commercialization.



Volvo berhasil meng-Coding “DNA” produk Volvo XC 90 SUV-nya dan menemukan bahwa ada unsur “petualangan” di situ. Volvo juga berhasil mendapatkan mitra yang tepat yang sesuai dengan “DNA”-nya tadi, yaitu film “Pirates of the Caribbean.”



Dan, untuk lebih memperkuat “DNA” ini, Volvo tidak hanya melakukan sponsorship atau brand placement seperti yang biasa dilakukan merek-merek lain terhadap sebuah film. Volvo menempuh langkah untuk lebih mengaktifkan pelanggan sehingga pelanggan bisa merasa lebih immerse dengan karakter Volvo XC 90 SUV itu.



Langkah seperti ini juga terbukti mampu menimbulkan Conversation yang cukup intens. Sinergi antara media online (Internet) dan media offline (peta, dealer) seperti tadi juga bisa dibilang merupakan sebuah terobosan.



Volvo, dengan “The Hunt”-nya, telah menunjukkan bahwa tantangan yang ada di lanskap New Wave yang seperti galaksi tanpa batas ini justru bisa dijadikan peluang untuk menghasilkan sesuatu yang sangat kreatif.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

Don't Forget the Heart Share

Don't Forget the Heart Share!: The SQ006 Case
EPA/SINGAPORE AIRLINE
Airbus A380 milik Singapore Airline terlihat pada gambar tertanggal 18 Maret. Salah satu dari tiga pesawat jenis ini, yang dimiliki maskapai Singapura tersebut, sedang dilarang terbang. Sejak Singapore Airline mengoperasikan pesawat seri A380 tahun 2007, sudah tiga kali masalah yang terjadi.
/
Artikel Terkait:

* The Hunt for the Pirates of the Caribbean: by Volvo
* Victoria's Secret Fashion Show: "The Glamour is Back!"
* Product (RED): The Bono Way to Save Africa
* It's not Selling anymore, It's Commercialization!
* BNI Gandeng 3 Perusahaan Asuransi

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Selasa, 25 November 2008 | 07:12 WIB

MASIH ingat musibah yang menimpa maskapai penerbangan Singapore Airlines (SQ) sekitar 8 tahun lalu? Ketika itu, tepatnya tanggal 31 Oktober 2000 sekitar pukul 11 malam waktu setempat, pesawat Singapore Airlines Flight 006 (SQ006) mengalami kecelakaan fatal di Bandara Chiang Kai-Shek, Taiwan. Pesawat dengan rute Singapura - Los Angeles via Taiwan ini berada di runway yang salah ketika hendak lepas landas. Pesawat ini menabrak sejumlah perlengkapan konstruksi, termasuk ekskavator dan buldozer, yang ada di runway tersebut.



Inilah kecelakaan fatal pertama yang dialami SQ. Musibah ini menghancurkan pesawat Boeing 747-412 itu serta menewaskan 83 orang yang terdiri dari 79 penumpang dan 4 awak kabin. Secara keseluruhan sendiri ada 159 penumpang dan 20 awak kabin di pesawat itu.



Sejumlah hal disebutkan menyebabkan kecelakaan ini. Adanya masalah human error serta hujan badai dan pencahayaan yang kurang di sekitar bandara menyebabkan pesawat tersebut berada di jalur yang salah.



Setelah kecelakaan itu terjadi, Deputy Chairman dan CEO Singapore Airlines, Dr. Cheong Choong Kong, langsung mengadakan jumpa pers. Acara ini disiarkan langsung oleh Channel News Asia, stasiun televisi dari Singapura.



Walaupun saat itu belum dilakukan penyelidikan, Dr. Cheong, yang tampak sangat kelelahan, menyatakan penyesalannya dan meminta maaf atas musibah yang terjadi. Ia bilang, apapun penyebabnya, pesawat itu adalah pesawat SQ. Ia tidak mencoba mencari-cari alasan atau menyalahkan pihak lain atas musibah yang terjadi.



Pada tanggal 4 November 2000, SQ juga langsung menawarkan semacam uang duka-cita kepada para korban. Keluarga korban yang meninggal masing-masing mendapatkan 400 ribu dollar AS, sementara yang selamat masing-masing mendapatkan 20 ribu dollar AS. Ini di luar biaya pengobatan bagi mereka yang luka-luka atau harus dirawat di rumah sakit.



Lalu, beberapa waktu kemudian, ketika mulai dilakukan penyelidikan, SQ juga bersikap sangat kooperatif dengan otoritas penegak hukum di Taiwan. SQ tidak berupaya menghalang-halangi pemeriksaan terhadap ketiga pilot SQ006.



Penanganan SQ pasca musibah ini pun mendapat pujian dari banyak kalangan. Mereka menyebut penanganan musibah SQ006 yang dipimpin langsung oleh Dr. Cheong tadi sebagai “nothing short of outstanding”.



Hasilnya bisa kita lihat sekarang. Reputasi SQ tidak terpengaruh dan tetap menjadi maskapai penerbangan nomor satu di dunia.



Nah, buat saya, ini menunjukkan bahwa SQ telah berhasil memenangkan heart share, bukan sekadar menjadi jawara di mind share dan market share.



Sebuah perusahaan bisa saja tidak menjadi top of mind lagi atau pangsa pasarnya agak menurun karena berbagai sebab. Namun, kalau sudah masuk ke hati pelanggan, hal seperti ini tidak akan berlangsung lama. Dalam jangka panjang, perusahaan tersebut tetap akan menjadi pilihan utama para pelanggan.



Perusahaan-perusahaan yang bisa survive dan terus berkembang di era New Wave Marketing seperti SQ ini memang bukan mengejar keuntungan jangka pendek, tetapi bertujuan untuk menciptakan customer value demi kepentingan relasi jangka panjang.



Value sendiri merupakan bagian ketiga dari konsep Pemasaran setelah Strategi dan Taktik. Kalau Strategi bertujuan untuk memenangkan mind share dan Taktik untuk memenangkan market share, maka Value ini bertujuan untuk memenangkan heart share.



Value ini terdiri dari tiga elemen, yaitu Brand, Servis, dan Proses (BSP). Brand atau merek merupakan value indicator yang memungkinkan perusahaan atau produk menghindari perangkap komoditas alias jadi punya nilai di mata pelanggan.



Sementara Servis adalah paradigma perusahaan untuk selalu memenuhi atau melampaui kebutuhan, keinginan, dan ekspetasi pelanggan. Servis inilah yang merupakan value enhancer dari perusahaan.



Dan elemen terakhir dari Value Pemasaran adalah Proses. Proses adalah value enabler perusahaan yang memungkinkannya untuk memberikan value kepada pelanggan.



Dari penanganan kasus SQ006 tadi, bisa kita lihat bahwa Servis dan Proses-nya berjalan dengan sangat baik sehingga Brand-nya tetap terjaga utuh walaupun sedang mengalami krisis.



Kepentingan pelanggan, dalam hal ini penumpang dan keluarganya, menjadi prioritas utama. Semua informasi yang dibutuhkan disediakan dengan cepat sehingga para keluarga tidak kebingungan. Proses pengeluaran dana juga dilakukan dengan cepat tanpa menunggu birokrasi yang bisa berbelit-belit.



Itulah peranan Value Pemasaran untuk memenangkan heart share.



Nah, kalau di era New Wave Marketing ini, istilah yang lebih tepat bukan lagi Brand, Servis, dan Proses, namun menjadi Character, Caring, dan Collaboration. Saya akan jelaskan lebih detil soal ini dalam tulisan-tulisan selanjutnya.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

It's not Brand anymore, It's Character!

It's not Brand anymore, It's Character!
business-designers.com
/
Artikel Terkait:

* Don't Forget the Heart Share!: The SQ006 Case
* The Hunt for the Pirates of the Caribbean: by Volvo
* Victoria's Secret Fashion Show: "The Glamour is Back!"
* Product (RED): The Bono Way to Save Africa
* It's not Selling anymore, It's Commercialization!

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Rabu, 26 November 2008 | 07:18 WIB

TAHUKAH Anda, dari mana istilah opera sabun (soap opera) itu muncul? Ternyata istilah ini mulai ada sejak tahun 1930-an. Waktu itu Procter & Gamble (P&G) memproduksi dan mensponsori opera radio pertama. Nah, P&G ini sudah lama dikenal sebagai produsen sabun. Sabun Ivory misalnya, sudah dipasarkan P&G sejak tahun 1880-an. Pada tahun 1890-an, P&G bahkan sudah memproduksi lebih dari 30 jenis sabun.



Jadi, ketika P&G mensponsori opera radio tadi, orang pun lantas menyebutnya dengan istilah “opera sabun.” Opera radio ini memang ditujukan untuk ibu-ibu rumah tangga, sehingga disiarkan pada siang hari. Ketika televisi mulai populer pada tahun 1950-an sampai 1960-an, opera sabun ini pun pindah ke media televisi dan tetap secara rutin disponsori merek-merek dari P&G seperti deterjen ”Tide”, shampo ”Prell”, pasta gigi ”Crest”, pelembut pakaian ”Drowny”, atau popok bayi ”Pampers”.



Dengan mempopulerkan merek-mereknya secara massal seperti ini, maka bisa dibilang bahwa P&G-lah yang menjadi pelopor dalam konsep Brand Management.



Brand Management ini merupakan bagian dari Marketing Trilogy selain Product Management dan Customer Management.



Product Management menjadi konsep pertama yang lahir. Ketika itu orang belum terlalu mengenal pentingnya pengelolaan merek karena pesaing masih sedikit. Product Management ini membahas antara lain tentang product lifecycle (PLC). Jadi, di sini intinya adalah bagaimana caranya sebuah perusahaan mengelola produknya sehingga tidak menurun penjualannya (decline).



Setelah itu, orang mulai bicara soal Brand Management. Pesaing mulai bermunculan, media massa juga mulai tumbuh dan berkembang. Karena itulah perusahaan memerlukan pengelolaan merek untuk menjadikan produknya lebih dikenal orang; seperti yang dilakukan P&G tadi.



Dan terakhir, seiring dengan perkembangan teknologi, lahirlah Customer Management. Teknologi ini memungkinkan perusahaan untuk mengenali pelanggannya dengan lebih detil. Dengan demikian perusahaan juga bisa melakukan up-selling dan cross-selling kepada pelanggan sesuai dengan profil pelanggan tersebut.



Di sinilah mulai dikenal konsep customer-centric yang pada intinya produsen berupaya menyediakan produk-produk yang dibutuhkan pelanggan, bukan lagi menyodorkan produk kepada pelanggan dengan anggapan bahwa pelanggan akan membelinya begitu saja.



Itulah sekilas tentang apa yang disebut sebagai Marketing Trilogy.



Sekarang kembali ke soal Brand Management. Perusahaan melakukan langkah pengelolaan merek ini untuk meningkatkan value terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Merek inilah yang pada akhirnya akan menjadi ”pembeda” antara satu produk dengan produk lainnya di mata pelanggan sesuai value-nya.



Sekali lagi saya ulangi, value ini—atau lengkapnya customer value karena ditinjau dari sudut pandang pelanggan—definisinya adalah hal-hal yang diterima pelanggan ketika membeli produk dibandingkan apa yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan produk tersebut.



Manfaat yang diterima ini berupa manfaat fungsional dan manfaat emosional. Sementara pengeluaran pelanggan berupa harga produk tersebut dan pengeluaran-pengeluaran lain yang harus dikeluarkan pelanggan.



Jadi, kalau dibilang sebuah produk memiliki value tinggi, artinya manfaat yang diterima lebih besar dibanding pengeluaran yang harus dibayar pelanggan.



Bisa saja sejumlah produk manfaat fungsionalnya sama atau tidak jauh berbeda, namun karena manfaat emosional yang dirasakan pelanggan berbeda, maka sebuah produk harganya bisa jauh lebih mahal ketimbang yang lain. Nah, merek inilah yang bisa meningkatkan manfaat emosional kepada sebuah produk.



Namun, pada era New Wave Marketing, istilah yang lebih tepat bukan lagi brand atau merek, tapi Character.



Layaknya manusia, karakter ini pada dasarnya sama dan tetap, sesuai dengan DNA-nya. Seseorang bisa gonta-ganti baju, mengubah potongan rambut, atau bahkan melakukan operasi plastik, namun tetap saja DNA-nya tidak bisa berubah.



Begitu juga merek. “Baju” atau kemasannya bisa berganti-ganti, namun kita tetap akan bisa mengenali karakternya.



Lihat saja logo MTV. Tidak ada logo yang baku, selalu berubah-ubah. Namun, kita tetap bisa mengenali bahwa itu merupakan merek dari MTV.



Contoh lain adalah avatar kita yang ada di Yahoo! Messenger. Avatar ini bisa kita ganti setiap saat dengan gambar apa saja, namun tetap saja teman chatting akan mengenali kita.



Kalau sudah begini, mungkin tidak lagi diperlukan brand book atau brand manual. Biarkan kemasan merek kita berubah-ubah, yang penting karakternya tetap. Kedinamisan ini sekaligus menunjukkan semangat muda kita. “Muda” dan “dinamis” inilah yang menunjukkan paradigma horisontal di era New Wave Marketing.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

Dealing with Customer's Life

Mayo Clinic: Dealing with Customer's Life
Tpgimages
/
Artikel Terkait:

* Changi: The Destination Airport
* It's not Service anymore, It's Caring!
* "Face/Off": When John Travolta Becomes Nicolas Cage
* It's not Brand anymore, It's Character!
* Don't Forget the Heart Share!: The SQ006 Case

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Senin, 1 Desember 2008 | 06:40 WIB

SEPERTI pernah saya ceritakan sebelumnya, sejak pertengahan Oktober sampai awal November lalu saya pergi ke Amerika. Di situ saya sempat melakukan general check-up di Mayo Clinic di Rochester, Minnesota, Amerika, dari tanggal 20 sampai 24 Oktober. Nah, selama di sinilah saya merasa takjub, betapa proses yang ditunjang dengan teknologi dan manusia (process, people, technology/PPT) menjadikan proses tersebut berlangsung horisontal. Tidak lagi terjadi silo-silo alias vertikal.

Ceritanya begini. Ada dokter koordinator yang namanya Salma Iftikhar, M.D. Setelah bertemu saya, ia kemudian memasukkan semua catatan kesehatan saya ke dalam komputer. Terus ia menentukan, tes apa saja yang harus dilakukan. Juga dokter spesialis apa saja yang harus saya temui. Hebatnya, setiap kali ada tes atau konsultasi, hasilnya bisa langsung masuk ke komputer. Sehingga semua dokter—yang merawat saya semuanya ada 5 dokter—bisa langsung melihat datanya. Komentar mereka juga bisa dimasukkan ke komputer.

Jadi, prosesnya berlangsung sangat efisien dari sisi waktu. Semuanya bisa dilakukan secara paralel. Team work juga bisa jalan walaupun seluruh dokter tadi tidak pernah bertemu sama sekali. Bisa dilihat bagaimana teknologi yang canggih serta orang-orang yang kompeten dan terlatih mampu menjadikan proses berlangsung dengan cepat.

Lantas, bagaimana hasil pemeriksaan saya? Ternyata saya clear 100%, walaupun sudah terkena diabetes selama 24 tahun. Tentu saja saya senang mendengar hasil pemeriksaan dari Mayo Clinic ini. Reputasinya yang sudah tersebar luas membuat para pasien dari seluruh dunia datang ke sini. Sebagai contoh, almarhum Raja Hussein bin Talal dari Yordania juga pernah dirawat di Mayo Clinic ini. Beliau menghabiskan waktu sekitar 6 bulan untuk perawatan penyakit kanker. Namun, karena memang sudah parah, beliau akhirnya kembali ke Yordania dan meninggal di negerinya tersebut.

Yang menarik, saya juga melihat ada pesawat Saudi Arabian Airlines sewaktu mendarat di bandara Rochester yang kecil. Ternyata itu adalah pesawat sewaan (charter flight), yang membawa orang-orang paling kaya di seluruh dunia yang berasal dari Timur Tengah. Padahal, Mayo Clinic ini bisa dibilang tidak pernah menggunakan iklan untuk mempromosikan dirinya. Institusi ini bahkan tidak punya staf marketing sampai tahun 1986. Dan dari tahun 1986 sampai tahun 1992, yang namanya departemen marketing cuma terdiri dari 1 orang!

Nah, kalau dulu orang belajar servis dari hotel, sekarang musti belajar Caring dari hospital business seperti Mayo Clinic ini. Seperti yang dikatakan oleh Leonard L. Berry dan Kent D. Seltman dalam buku yang berjudul Management Lessons from Mayo Clinic, pelanggan institusi kesehatan seperti Mayo Clinic punya karakteristik yang berbeda dibanding industri lain. Di hospital business ini, pelanggan alias pasien sedang sakit sehingga dalam kondisi yang sangat tertekan. Pelanggan juga bukan sekadar mampir layaknya di toko, namun malah bisa menginap di tempat kita.

Lalu, layanan terhadap pelanggan di hospital business ini juga harus sangat personal; bukan hanya kondisi kesehatannya yang diperhatikan, namun juga faktor-faktor seperti usia, status mental, kepribadian, preferensi, pendidikan, situasi keluarga, dan kendala keuangan juga harus diperhatikan. Dan yang tak kalah penting, kalau penanganan pelanggan ini salah, akibatnya bisa sangat fatal.

Bisa dilihat bahwa penanganan pelanggan di sini bukan sekadar layanan biasa, namun harus benar-benar diperhatikan dan dirawat sepenuh hati alias Caring. Tak heran jika kedua penulis tadi, Berry dan Seltman, menyatakan bahwa Mayo Clinic merupakan “one of the world’s most admired service organizations.”

Dr. William J. Mayo, salah seorang pendiri Mayo Clinic, mengatakan pada tahun 1910 bahwa “The best interest of the patient is the only interest to be considered.” Menurutnya, pasien itu bukan seperti kereta, yang bisa diperbaiki komponen-komponennya secara terpisah. Pasien harus diperiksa dan diperlakukan secara keseluruhan, sebagai manusia. Dr. Mayo ini percaya bahwa seorang dokter spesialis harus bekerja sebagai bagian dari sebuah unit kesatuan ketika menangani pasien.

Para dokter di Mayo Clinic ini memang sangat peduli terhadap pasiennya. Mereka sendiri yang menjemput kita dan mengantarkan keluar kamar praktik, bukan perawat. Mereka semua ramah seperti teman sendiri. Sumber daya manusia ini didukung oleh teknologi yang canggih. Beberapa teknologi untuk mendiagnosis pasien dikembangkan oleh IBM yang punya fasilitas manufaktur dan pengembangan di Rochester juga.

Nah, untuk menangani pelanggan dengan sepenuh hati seperti ini, Mayo Clinic mampu mengintegrasikan antara process, people, dan technology (PPT) tadi. Inilah kunci sukses dalam melakukan Caring di era New Wave Marketing.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

Konsep Baru marketing "Be A Hero"

Hermawan Ajarkan Konsep Baru "Be A Hero"
Kamis, 27 November 2008

Konsep-konsep baru dalam dunia marketing yang dilontarkan Hermawan Kartajaya tercipta dengan berbagai latar belakang. Salah satu yang terbaru adalah sebutan be a hero. Konsep itu didapat Hermawan setelah dia bertemu profesor psikologi industri dari University of Nebraska-Lincoln Fred Luthens. "Jika konsep saya digabungkan dengan Luthens, jadinya The Marketing of Hero," ujarnya.

Hero itu merupakan sebuah akronim. Huruf H berarti hope. "Ini berkaitan dengan the will and the way. Kalau ada will (keinginan), pasti akan ada way (jalan)," ucapnya.

Huruf E merupakan kependekan dari efficacy. "Ini berkaitan dengan confident to succeed, percaya untuk bisa sukses. Percaya adalah setengah jalan untuk mencapai sesuatu," terang Hermawan yang mengutip ucapan koleganya dari AS itu.

Sedangkan R ialah resilience. "Penjelasannya adalah bouncing back and beyond (merunduk untuk kemudian melenting jauh ke atas, Red)," papar peraih gelar S2 dari Strathclyde, Glasgow, Inggris, tersebut.

Menurut Hermawan, sifat itu penting, terutama bila terkait dengan kesulitan hidup. "Jadi, bila terjatuh, jangan putus asa. Harusnya, dibuat momen untuk melenting ke atas," jelasnya.

Sedangkan abjad terakhir, O, merupakan kependekan dari optimism. Menurut Hermawan, bila optimistis, seseorang harus realistic dan flexible. "Bisa terlihat dari sikapnya yang selalu happy dan jauh dari stres," tuturnya.

Hermawan kemudian melontarkan joke. "Ada penelitian yang menyebutkan, orang yang jauh dari stres itu bisa memperpanjang hidup sampai sepuluh tahun. Makanya, bagi perokok, penting untuk tidak stres," urainya.

Apa hubungannya perokok dengan tak stres? Hermawan mengatakan, kalau mengisap satu batang rokok mengurangi hidup selama lima menit, tapi bila tidak stres, hidupnya memanjang sepuluh tahun. "Jadi, masih ada sisa sembilan tahun, 364 hari, 23 jam, dan 55 menit."(ano/ayi/jpnn)

Berkurban Menurut Sunnah Nabi

HUKUM BERKURBAN
+ selengkapnya
Indeks Kaffah

* Antara Bangsa, Budaya dan Agama
* Shalatnya Piket Penjaga ( Satpam )

Kacamata,Pelindung dan Penunjang Gaya

FUNGSI kacamata makin meluas. Tak sekadar alat bantu penglihatan,...
+ selengkapnya
Indeks Bugar

* Perawatan, Pilih Sabun dan Tisu Lembut
* Kacamata Fotogrey

Hermawan Ajarkan Konsep Baru "Be A Hero"

Konsep-konsep baru dalam dunia marketing yang dilontarkan Hermawan...
+ selengkapnya
Indeks Mekar

* Belajar dari Rontoknya Beanstock
* Memutar Uang untuk Modal

© Copyright by IT Dept. Batam Pos.

Thursday, November 27, 2008

Belajar dari Rontoknya Beanstock

Belajar dari Rontoknya Beanstock
Rabu, 26 November 2008
Nama aslinya Ashari Yusuf, ia kini tengah mengurus perubahan nama menjadi Ashari Coffee. Nama baru di belakang namanya bukan sebuah gagah-gagahan namun itu adalah sebentuk komitmen untuk tetap bergelut di dunia hitam, kopi. Ia ingin orang mengenalnya sebagai pebisnis kopi hanya dari namanya.
Ashari adalah pendiri Beanstock Coffee Shop. Bisnis ini ia lakoni sejak 14 Mei 2002 lalu. Perlahan-lahan bisnis ini menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, namun pelahan-lahan juga mengalami kemerosotan hingga rontok. Dari enam gerai yang dimiliki kini hanya tinggal satu gerai saja, sebagai lambang Beanstock masih eksis.

Berbicara coffee shop di Batam, orang pasti mengenal Beanstock, tenda warna hijau menjadi ciri kehadirannya. Beanstock menjadi salah satu alternatif untuk nongkrong sembari menyeruput aneka sajian kopi racikan barista (peracik kopi) tak ayal jika bisnis ini berkembang pesat, hingga bisa membuka lima cabang lainnya dalam tempo singkat.

Tapi siapa nyana perkembangan pesat itu adalah cobaan. Beanstock bejalan tak stabil, Beanstock pun rontok di tengah jalan. Ada yang salah? Ashari bertutur blak-blakan kepada batampos.co.id. "Saya terlalu idealis," aku Ashari. Idealis yang dimaksud adalah di Beanstock dijamin Anda tak akan menemukan menu nasi goreng atau burger seperti di gerai kopi lainnya, yang bisa dijumpai adalah kopi dan penganan kecil teman minum kopi. Ashari benar-benar ingin Beanstock disebut coffee shop bukan gerai resto yang menyediakan kopi.

Begitu teguh ia memang idealisme itu hingga ia bergeming untuk mencoba berimprovisasi menyediakan menu lain selain kopi dan kudapan kecil. Akhirnya, Beanstock rontok.

Alasan kedua adalah harga yang mahal.

Ashari juga mengaku terlalu bersemangat mengembangkan bisnis kopinya sehingga setiap ada investor yang mau gabung ia iya kan selalu.

Rontoknya Beanstock membuat ekonomi Ashari benar-benar terpuruk, utang menumpuk, gaji karyawan pun belum dibayar. "Saya benar-benar capek uang," demikian Ashari menggambarkan kondisinya kala itu. Andai saja ia sanggup, ia akan hentikan putaran bumi terhadap matahari biar siang tak menjelang. "Karena siang berarti jatuh tempo utang saja," katanya.

Begitu sakit dompetnya sampai-sampai Ashari harus menggadaikan giwang istrinya untuk membayar gaji karyawan. "Saya pergi ke pegadaian di Sungai Panas," kisahnya.

Pria kelahiran 1974 ini dengan gagah datang ke pegadaian. "Saya tidak malu karena ini tanggung jawab saya sebagai pengusaha," imbuhnya. Dengan uang inilah ia membayar gaji karyawan. Ashari beruntung karena akhirnya giwang itu berhasil ia tebus.

Kapok? Bisnis coffee shop tidaklah murah. Untuk satu gerai dibutuhkan modal setidaknya Rp150 juta, namun tutupnya lima gerai kopinya tidak membuat Ashari berpaling. Ia tetap berbisnis di bidang kopi. Ia emoh untuk beralih ke lain hati. Ashari melihat ke depan bisnis kopi sangat menjanjikan dan bisa menghasilkan uang.

"Lagi pula ilmu kopi bisa saya bawa ke mana-mana, di mana pun orang di dunia, minum kopi," ulas pria yang sejak SMA mulai berbisnis ini.

Awal jatuh cinta kepada bisnis adalah pada 2004 lalu setelah ia hadir dalam pameran kopi sedunia di Singapura. Ia melihat betapa dahsyatnya bisnis kopi dunia. Semangat itu ia bawa ke Batam kini dan hingga nanti. Ia juga telah mengikuti pelatihan seputar kopi, aneka resep kopi pun telah ia miliki.

Bagi ayah seorang bocah ini, rontoknya Beanstock adalah mirip rontoknya daun di pohon yang kelak ia akan bersemi kembali. Baginya inilah fokus, inilah komitmen. Dalam bisnis ia menilai butuh fokus. "Jangan berhenti bila gagal, bernhentilah saat setelah sukses," pesan Ashari.

Maksudnya, adalah jamak gagal di satu bisnis lalu mencoba bisnis di sektor lain, namun itu bukan sikap Ashari. "Kalau demikian, saya takut setiap mencoba atau berpindah ke bisnis lain kita akan mengalami berulang dan berulang," katanya. Ujungnya, ya selalu saja gagal.

Sementara kalau fokus ia yakin kelak akan menemukan celah untuk tetap eksis dan berkembang pesat. "Saya ingin jadi ahli," ucapnya. Orang tuanya berpesan, jadi apapun harus ahli. Jadi tukang rumput sekalipun harus ahli, saat walikota butuh perbaiki taman walikota akan memanggil si tukang rumput, demikian pesan orang tuanya.

Ashari belajar, dalam industri ritel terkenal dunia sekalipun pernah mengalami kerontokan. Tapi ini bukan gagal. "Gagal itu saat jatuh tak bangun lagi," jelasnya. Bahwa ada kejatuhan adalah wajar, karena untuk bangkit tentu harus ada proses jatuh, demikian ia mencoba berfilosofi. Seperti halnya keinginan masuk surga harus mati dahulu barulah kita bisa masuk surga.

Seperti judul sebuah sinetron roda bisnis Beanstock sedang diuji dengan jalan termehek-mehek.

Palajaran dari kasus ini bagi Ashari adalah bisa menjaga emosi. Sukses dan gagal adalah cobaan. Disaat mengalami keduanya harus bisa menjaga emosi. Dalam sejarah bisnisnya, Ashari telah mengalami cobaan itu.

Untuk pembaca batampos.co.id, Ashari mengajak untuk fokus dalam berbisnis. (putut)

Memutar Uang untuk Modal

Memutar Uang untuk Modal
Rabu, 19 November 2008
Nugroho Mulyono

Semangat berwirausaha yang ada sejak bangku kuliah membuat Nugroho senantiasa gelisah saat harus bekerja di Muka Kuning, Batam. Delapan tahun di sana Nugroho selalu pindah-pindah PT. Sarjana elektro Universitas Brawijaya ini tak sanggup harus bekerja dengan jadwal ketat. “Untuk pulang pun harus mengendap-endap,” kenangnya sembari terkekeh lepas.


Saat masih kuliah di Malang , arek Surabaya ini sudah suka berdagang. Macam-macam yang ia jual. Tak heran jika ia gak betah “dipeluk” sejuknya AC pabrik. Akhirnya 2005 ia memutuskan untuk keluar dari PT. “Dengan kesadaran sendiri saya keluar,” tegasnya.

Hendak kerja apa? Nugroho belum tahu. Yang ia tahu ia harus berbisnis. Apalagi ia harus membiayai anak dan istri. Berjualan jajanan yang didatangkan dari Bandung ia lakoni. “Saya plastiki sendiri lalu dititipin ke toko-toko,” kenangnya. Kini usaha ini masih berjalan namun dikelola orang lain.

Pada masa transisi itu bukan sebuah masa mudah ayah dua anak ini. Ia sempat dicibiri sebagai bapak rumah tangga karena tidak bekerja, sementara istrinya bekerja.

Cibiran ini bukan menyayat hati sebaliknya melecut diri untuk membuktikan bahwa pilihannya adalah benar. Benar, kini ia bisa memiliki sebuah CV dan duduk sebagai bos, jabatan resminya sih Managing Director. Usaha yang ia geluti adalah agen tiket, tours dan travel.

Dalam tempo 1,5 tahun ia merentang sayap dengan membuka lima kantor. Kantor utama adalah di Panbil Mall, Muka Kuning, tak jauh dari tempatnya dulu bekerja. Strategi meluaskan cabang ini sempat dikritik terlalu cepat. “Tapi menurut saya ya memang harus seperti itu jalannya,” kilahnya.

Alasannya, kantornya mendekati pangsa pasar. Semuanay dekat dengan komunitas orang. Kantor cabangnya di Blitar dan Surabaya, Jatim memberikan sumbangsih kenaikan omset yang signifikan. Saat perusahaan travel lain bilang seret cari konsumen ia masih tetap bisa tersenyum. ”Saya heran di koran ditulis omset travel turut 50 persen wong tempat saya justru naik sampai 60 persen kok,” kisahnya saat membaca berita di koran.

Pilihan untuk menggeluti sektor wisata ini sejatinya tidak ia sengaja meski tetap sesuai dengan kerangka berpikirnya. ”Saya nggak mau bisnis yang menyetok barang,” katanya.

Bermula dari membantu kawan-kawan sedaerah yang hendak pulang kampung ia mencarikan tiket pesawat. Rupanya kabar kemampuanhya menyediakan tiket beredar cepat dari mulut ke mulut. Ujungnya ia pun memantapkan diri menjadi sub agen tiket. Ia dapat komisi dari agen dari setiap tiket yang bisa ia dapatkan.

Hingga akhirnya ia mendapatkan LG (letter of guarantee) dari maskapai. Ia tidak lagi harus berbagi komisi dengan agen karena ia mendapatkan tiket langsung dari maskapai.

Waktu terus berjalan. Hambatan dan tantangan telah ia lalui. Maskapai semakin percaya kepadanya, target penjualan ticket pun menyapa. Berapapun target yang ditetapkan maskapai selalu ia sanggupi. ”Tidak pun ditarget, kami selalu menentukan target sendiri,” tekadnya.

O, iya modal yang ia buat mendirikan perusahaan tidak kecil tapi ia berhasil melakukannya dengan memutar uang yang ia hasilkan dari menjual tiket.

Kini Nugroho tidak harus berebut kamar mandi dengan istri setiap pagi. ”Mau bangun jam berapapun bisa,” akunya. Wong bos siapa yang berani memarahi ya… (putut)

Hermawan Ajarkan Konsep Baru "Be A Hero"

Hermawan Ajarkan Konsep Baru "Be A Hero"
Kamis, 27 November 2008

Konsep-konsep baru dalam dunia marketing yang dilontarkan Hermawan Kartajaya tercipta dengan berbagai latar belakang. Salah satu yang terbaru adalah sebutan be a hero. Konsep itu didapat Hermawan setelah dia bertemu profesor psikologi industri dari University of Nebraska-Lincoln Fred Luthens. "Jika konsep saya digabungkan dengan Luthens, jadinya The Marketing of Hero," ujarnya.

Hero itu merupakan sebuah akronim. Huruf H berarti hope. "Ini berkaitan dengan the will and the way. Kalau ada will (keinginan), pasti akan ada way (jalan)," ucapnya.

Huruf E merupakan kependekan dari efficacy. "Ini berkaitan dengan confident to succeed, percaya untuk bisa sukses. Percaya adalah setengah jalan untuk mencapai sesuatu," terang Hermawan yang mengutip ucapan koleganya dari AS itu.

Sedangkan R ialah resilience. "Penjelasannya adalah bouncing back and beyond (merunduk untuk kemudian melenting jauh ke atas, Red)," papar peraih gelar S2 dari Strathclyde, Glasgow, Inggris, tersebut.

Menurut Hermawan, sifat itu penting, terutama bila terkait dengan kesulitan hidup. "Jadi, bila terjatuh, jangan putus asa. Harusnya, dibuat momen untuk melenting ke atas," jelasnya.

Sedangkan abjad terakhir, O, merupakan kependekan dari optimism. Menurut Hermawan, bila optimistis, seseorang harus realistic dan flexible. "Bisa terlihat dari sikapnya yang selalu happy dan jauh dari stres," tuturnya.

Hermawan kemudian melontarkan joke. "Ada penelitian yang menyebutkan, orang yang jauh dari stres itu bisa memperpanjang hidup sampai sepuluh tahun. Makanya, bagi perokok, penting untuk tidak stres," urainya.

Apa hubungannya perokok dengan tak stres? Hermawan mengatakan, kalau mengisap satu batang rokok mengurangi hidup selama lima menit, tapi bila tidak stres, hidupnya memanjang sepuluh tahun. "Jadi, masih ada sisa sembilan tahun, 364 hari, 23 jam, dan 55 menit."(ano/ayi/jpnn)

Friday, November 14, 2008

It's not Place anymore, It's Communal Activation!

It's not Place anymore, It's Communal Activation!
TPGIMAGES
Ilustrasi
/
Artikel Terkait:

* Flexible Pricing from Facebook Ads
* "The Price is Really Up to You", Says Radiohead
* It's not Price anymore, It's Currency!
* "The Way I See It" from Starbucks
* "Chicago Crime Scene" from Domino's Pizza

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Sabtu, 15 November 2008 | 01:47 WIB

ELEMEN ketiga dari Marketing-Mix adalah Place atau yang sering juga disebut sebagai marketing channel atau saluran distribusi. Saluran distribusi inilah yang berperan dalam menghantarkan produk dari produsen ke pelanggan. Yang termasuk dalam saluran distribusi ini secara sederhana mencakup wholesaler dan peritel (retailer). Wholesaler merupakan “tangan pertama” dari saluran distribusi karena ialah yang mengambil produk langsung dari produsen. Setelah itu, wholesaler menyalurkannya ke peritel, dan dari peritel-lah pelanggan lalu membeli produk tersebut.

Dalam bahasa sehari-hari, saluran distribusi ini lebih dikenal dengan istilah distributor. Peranannya bisa seperti wholesaler saja atau merupakan kombinasi dari wholesaler dan peritel. Jadi yang namanya distributor bisa mengambil barang saja dari produsen, bisa juga sekaligus menjualnya ke pelanggan. Itulah proses yang terjadi dalam saluran distribusi yang merupakan bagian dari supply chain management (SCM). Tentu dalam praktiknya proses yang terjadi jauh lebih rumit, ada yang namanya agen, dealer, reseller, dan sebagainya. Namun secara prinsip peranan masing-masing pihak dan proses yang terjadi tidak jauh berbeda dengan penjelasan di atas.

Sejumlah perusahaan memang tidak memiliki saluran distribusi alias menjual produk secara langsung ke pelanggan. Misalnya saja Dell yang terkenal dengan direct channel-nya. Atau perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor B2B alias industrial market. Ini memang bisa dilakukan karena berbagai alasan. Misalnya saja untuk menekan biaya. Menjual produk secara langsung berarti tidak perlu membayar margin profit atau commission fee kepada saluran distribusi. Alasan lainnya bisa karena sifat produk yang sangat spesifik. Produsen tidak bisa memberikannya kepada pihak ketiga alias saluran distribusi karena ada aspek-aspek kerahasiaan produk yang harus dijaga.

Lalu, di tingkat ritel sendiri, ada beragam jenisnya. Kita bisa membaginya menjadi pasar tradisional (wet market) dan pasar modern. Di pasar modern sendiri bisa lagi dibagi menjadi beberapa jenis seperti Specialty Stores, Supermarket, Convenience Stores, Department Stores, Hypermarkets, atau Category Killers. Karena berhubungan langsung dengan pelanggan, peritel bisa menjadi lebih powerful dibanding produsen. Peritel bisa menentukan, produk apa saja yang bisa masuk ke tempatnya dan berapa margin yang diinginkan. Tidak heran jika pendapatan peritel bisa lebih tinggi dibanding produsen. Di Amerika contohnya, pendapatan Wal-Mart sudah mencapai 3 kali lipat pendapatan P&G.

Itulah sekilas tentang soal Place alias saluran distribusi yang ada dalam Legacy Marketing. Namun, dalam era New Wave Marketing, saluran distribusi ini bentuknya bukan lagi perusahaan-perusahaan distributor atau peritel. Saluran distribusi ini sekarang berupa Communal Activation.

Communal Activation ini berarti mengaktifkan sebuah komunitas lewat para pemimpin atau aktivis komunitas itu. Orang-orang seperti inilah yang mampu memasarkan produk alias Co-Creation kita kepada para anggota komunitas lainnya. Bisa dilihat bahwa ini sejalan dengan proses yang kita lakukan dari awal dalam New Wave Marketing. Kita harus melakukan Communitization terlebih dahulu, meng-Confirm-nya, dan kemudian meng-Clarify Confirmed-Community itu.

Untuk memasarkan Co-Creation kita di dalam komunitas, kita membutuhkan orang-orang yang menjadi simpul-simpul atau aktivis-aktivis di situ. Orang-orang seperti inilah yang akan bicara soal Co-Creation kita. Orang-orang inilah yang akan mempromosikan Co-Creation kita. Dan pada akhirnya orang-orang inilah yang akan menjual Co-Creation kita.

Mengelola para aktivis komunitas ini bagi produsen akan lebih efektif dan efisien ketimbang saluran distribusi tradisional seperti yang sudah dijelaskan di atas. Para aktivis ini bisa berbicara dengan “bahasa” komunitas tersebut. Para aktivis ini sangat memahami anxiety dan desire yang ada dalam komunitas. Biaya yang diperlukan untuk mengelola para aktivis ini juga relatif tidak terlalu besar.

Bagi pelanggan alias anggota komunitas sendiri, para aktivis ini memang lebih dipercaya ketimbang peritel karena memang kepentingan komunitaslah yang diutamakan. Reputasi dan integritas sebagai aktivis atau pemimpin komunitas seperti menjadi jaminan bagi anggota komunitas lainnya.

Di era New Wave Marketing ini, para pemimpin atau aktivis komunitas memang akan semakin berperan sebagai perantara antara produsen dan pelanggan. Karena itulah, Communal Activation menjadi salah satu langkah kunci untuk bisa sukses mengarungi galaksi New Wave yang tanpa batas ini.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas -

Hermawan Kartajaya

Saturday, October 25, 2008

How Earn Money from Internet

My friend and me always looking new idea and niche for how to earn money online home based business income …yeahh we loving work at home and enjoy the life, but at first time its so difficult to earn money online home based business income, as you may know and same our experienced that internet has many scam product about earn money online home based business income, i am still remember how much money lost for starting earn money online home based business income.

The hardest part is we take hours research and review best method to making money based home business and find the common question for new comer that interest to earn money online home based business income

”Why Home-Based Businesses are the best opportunity for most people to own and operate a successful business? , for you that looking how to earn money online home based business income ,we have review the smart product and give free repot just fill your email address click here

Wednesday, October 22, 2008

Segmentation to Communitization Marketing

From Segmentation to Communitization

/
Artikel Terkait:

* Who's the Third Player in Cola Market?
* The 12 Cs of New Wave Marketing
* Greed is (not) Good: Lessons from Wall Street
* Be a Sniper, not a Rambo
* PDB is Positioning, Differentiation and Brand

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Kamis, 23 Oktober 2008 | 07:20 WIB

DALAM Legacy Marketing, langkah pertama untuk menyusun strategi marketing adalah dengan melakukan segmentasi. Segmentasi ini bisa dilakukan berdasarkan sejumlah variabel, yang umum digunakan adalah variabel geografis, demografis, psikografis, dan perilaku (behavioral).

Secara geografis misalnya, bisa dibuat segmen pasar perkotaan dan pedesaan. Kemudian secara demografis, bisa dibuat segmen pelanggan berusia di bawah 20 tahun dan di atas 20 tahun. Secara psikografis, ada segmen yang suka produk-produk bermerek walaupun mahal, ada juga segmen yang lebih suka produk-produk yang harganya terjangkau. Kemudian, secara perilaku (behavioral), ada pelanggan yang membeli produk secara rutin, ada yang sesekali saja tergantung kebutuhan.

Itulah sedikit bahasan tentang segmentasi yang mungkin sudah sangat Anda pahami. Namun, dalam era New Wave Marketing saat ini, yang harus dilakukan bukanlah melakukan segmentasi, tapi Communitization. Ya, New Wave Marketer harus bisa membentuk suatu komunitas atau memanfaatkan komunitas yang ada.

Definisi komunitas sendiri ada macam-macam. Namun, bagi saya, definisi yang paling tepat adalah definisi yang terdapat dalam buku The Cluetrain Manifesto. Di dalam buku ini, komunitas didefinisikan sebagai sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya.

Jadi, dalam komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values. Beda dengan segmentasi yang anggota segmennya bisa tidak peduli satu sama lain. Inilah salah satu perbedaan yang jelas antara segmentasi dengan Communitization. Kemudian, dalam segmentasi, pembentukannya dilakukan oleh perusahaan sehingga sifatnya vertikal. Prosesnya berlangsung dari atas ke bawah. Pelanggan dan calon pelanggan dianggap berada di bawah produsen.

Sementara dalam Communitization, pembentukannya dilakukan oleh orang per orang yang setara sehingga bersifat horisontal. Juga, kalau dalam Segmentasi yang terjadi adalah high-budget high-impact marketing, maka dalam Communitization yang terjadi adalah low-budget high-impact marketing.

Mengapa demikian? Ya karena sifat segmentasi yang inisiatifnya dari perusahaan. Untuk melakukan segmentasi biasanya sebuah perusahaan harus melakukan riset pasar terlebih dahulu atau membeli laporan riset pasar yang harganya mahal. Segmentasi ini juga tidak ada yang ”merawat”, karena memang antar anggota segmen tersebut bisa tidak kenal satu sama lain, dan kita juga tidak peduli akan hal ini. Sementara dalam Communitization, perusahaan tidak harus melakukan riset pasar. Cukup mengidentifikasi komunitas yang sudah ada. Kalau ternyata tidak menemukan komunitas yang dianggap cocok, maka barulah perusahaan tersebut mempelopori berdirinya suatu komunitas.

Setelah komunitas ini terbentuk, perusahaan tersebut sebenarnya sudah bisa ”lepas tangan”, karena komunitas tersebut akan ”dirawat” sendiri oleh para anggota komunitasnya. Maka, kalau komunitas sudah terbentuk, praktis perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya apapun.

Komunitas ini bisa berbentuk komunitas online, komunitas offline, atau hibrida dari keduanya, seperti yang sudah saya jelaskan juga dalam tulisan saya yang berjudul ”A Tale of Three Communities: Harley-Davidson, Facebook and HTML”. Dalam komunitas online, karena memang berbasis Internet, orang-orang yang ada di komunitas tersebut bisa lintas demografis, lintas geografis, lintas agama, dan seterusnya. Yang penting, sekali lagi, adalah adanya kesamaan interest di antara para anggota komunitas tersebut.

Contohnya di Facebook. Kalau Anda punya account di Facebook, pasti Anda sering mendapat undangan (invitation) untuk bergabung (join) dengan suatu komunitas (group). Kalau komunitas itu kita anggap sesuai dengan interest kita, pastilah kita akan langsung bergabung, walaupun kita mungkin belum mengenal orang yang mengundang kita. Setelah bergabung, barulah kita bisa saling mengenal anggota komunitas tersebut dan bisa cepat akrab karena memang punya interest yang sama.

Jangan salah, yang namanya komunitas ini sebenarnya bukan barang baru. Sudah sejak dulu kita berkomunitas secara offline. Kalau Anda bapak-bapak, mungkin sering bermain kartu sambil ngobrol-ngobrol dengan tetangga Anda di pos ronda pada malam hari. Ini komunitas. Kalau Anda ibu-ibu, pastilah Anda sering mengikuti arisan atau pengajian. Ini juga komunitas.

Jadi, dalam era New Wave Marketing saat ini, bukan lagi masanya segmentasi yang bersifat vertikal. Marketer harus bisa melakukan Communitization yang sifatnya horisontal.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya