Monday, December 1, 2008

"The Glamour is Back!"

Victoria's Secret Fashion Show: "The Glamour is Back!"
gettyimages
Koleksi victoria secret
/
Artikel Terkait:

* Product (RED): The Bono Way to Save Africa
* It's not Selling anymore, It's Commercialization!
* CNN iReport: When Steve Jobs Had a "Heart Attack"
* Business Exchange: Creating Conversation with Customers
* It's not Promotion anymore, It's Conversation!

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Minggu, 23 November 2008 | 13:17 WIB

ITULAH headline untuk acara Victoria’s Secret Fashion Show (VSFS) tahun 2008 ini. Acara tahunan yang dijuluki sebagai “the world’s most celebrated fashion show” ini akan diselenggarakan pada 3 Desember 2008 di Fountainebleau, Miami Beach, Amerika. VSFS yang disiarkan oleh jaringan televisi CBS ini rencananya menampilkan para Victoria’s Secret (VS) Angels seperti Heidi Klum, Adriana Lima, Marisa Miller, Alessandra Ambrosio, dan masih banyak lagi top model lainnya.

Di sinilah akan ditampilkan bra senilai 5 juta dollar AS yang terdiri dari 3900 intan dan batu rubi senilai 1500 karat! Model yang beruntung mengenakannya adalah Adriana Lima. Namun, bra yang baru saja diluncurkan pertengahan Oktober lalu itu bukanlah bra termahal yang pernah ditampilkan di acara ini. Pada VSFS 2005, Gisele Bundchen bahkan mengenakan bra senilai 12,5 juta dollar AS! VSFS bukan sekadar fashion show biasa. Daya pikat utamanya memang ada di VS Angels yang cantik dan seksi yang berlenggak-lenggok di catwalk dengan mengenakan koleksi terbaru dari VS. Namun, penataan panggung, musik, bintang tamu, dan pertunjukannya secara keseluruhan memang dikemas dengan sangat spektakuler sehingga sangat berkesan.

Pernah ada VS Angels yang “terbang” dari arah penonton menuju ke panggung. Pernah juga VSFS ini menampilkan pertunjukan layaknya Cirque du Soleil. Dan yang juga selalu ditunggu-tunggu adalah peragaan “angelic wings” yang sudah menjadi ikon VSFS. Ukuran, bentuk, dan desain “angelic wings” ini sangat beragam; mulai dari yang berukuran normal, sangat besar, sayap ala kupu-kupu, atau bahkan seperti burung merak. Bintang tamunya juga tidak main-main. Tahun 2008 ini direncanakan penyanyi kulit hitam yang digandrungi anak muda, Usher, akan tampil. Pada VSFS 2007 lalu, selain Spice Girls dan will.i.am, ada pula Seal yang tampil menyanyi bareng dengan istrinya yang juga salah satu VS Angels, Heidi Klum.

VSFS memang sudah menjadi salah satu ikon budaya populer saat ini. VSFS ini dimulai pada tahun 1995 dan langsung dijuluki oleh pers sebagai the ”lingerie event of the century”. Namun, saat itu konsepnya masih berupa fashion show biasa. Barulah pada VSFS yang diselenggarakan tanggal 3 Februari 1999 diperkenalkan VS Angels, lengkap dengan ”angelic wings”-nya. Di sinilah para super model seperti Laetitia Casta, Heidi Klum, Stephanie Seymour, Karen Mulder, dan Tyra Banks menjadi VS Angels yang pertama.

VSFS 1999 ini juga sangat bersejarah. VSFS ini diselenggarakan di sebuah restoran mewah Cipriani di kawasan Wall Street, dan disiarkan langsung lewat Internet. Inilah pertama kalinya sebuah fashion show ditayangkan secara online. Cybercast ini sempat membuat server-nya crash karena hanya dirancang untuk menampung 500 ribu pengunjung, sementara yang mengakses ada sekitar 1,5 juta orang!

Lalu, sejak tahun 2001, VSFS ini digeser waktunya dari semula dekat dengan perayaan Hari Valentine menjadi ke musim menyambut Natal, yaitu sekitar bulan November-Desember. VSFS 2001 inilah yang paling sukses dari sisi jumlah penonton televisi, ditonton oleh sekitar 12,4 juta orang. Sementara VSFS 2006 disaksikan oleh 6,8 juta orang, dan pada tahun 2007 lalu ditonton oleh 7,4 juta pemirsa televisi.

Nah, buat saya, ini menunjukkan bagaimana VS melakukan Commercialization secara kreatif. VS tidak sekadar mencoba menjual produknya. Namun, VS berupaya menjalin ikatan emosional yang kuat dengan para pelanggannya lewat VSFS tadi sehingga pelanggan tidak merasa ”dijuali” oleh VS.

Jangan salah. Pelanggan VS ini sebenarnya ditujukan kepada kaum pria. VS ini didirikan pada tahun 1977 di San Fransisco California oleh Roy Raymond, lulusan Stanford Graduate School of Business. Saat itu ia merasa malu dan jengah kalau hendak membeli pakaian dalam untuk istrinya. Karena itu, Raymond lalu membuka toko pertama VS di Stanford Shopping Center dengan penataan produk dan desain interior sedemikian rupa sehingga kaum pria bisa merasa nyaman kalau hendak berbelanja. Ia pun lalu membuat katalog pesanan lewat surat (mail order) sehingga pelanggan bisa memilih sendiri di rumah. Ketika Internet muncul, VS pun meluncurkan situs VictoriasSecret.com pada tahun 1998. Tentu saja ini semakin disambut oleh pelanggan VS. Tak heran jika situs VS ini langsung menghasilkan keuntungan sejak hari pertama diluncurkan.

Inilah salah satu praktik Commercialization yang terjadi di era New Wave Marketing. Pelanggan merasa bahwa Victoria’s Secret dengan Victoria’s Secret Fashion Show-nya sudah menjadi bagian dari “DNA”-nya sendiri. Perusahaan tidak perlu terlalu repot berjualan, pelanggan juga tidak merasa sedang dijuali sesuatu. Pendeknya, terjadi pertukaran value yang sama-sama menguntungkan antara perusahaan dan pelanggan.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

Business Exchange: Creating Conversation with Customers

Business Exchange: Creating Conversation with Customers
TPGIMAGES
/
Artikel Terkait:

* It's not Promotion anymore, It's Conversation!
* Sellaband: When Musicians Meet Their "Believers"
* High School Musical: Activating the Young Community
* It's not Place anymore, It's Communal Activation!
* Flexible Pricing from Facebook Ads

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Rabu, 19 November 2008 | 07:12 WIB

MAUKAH Anda menaruh produk pesaing di tempat Anda? Saya yakin Anda semua pasti bilang tidak mau. Tapi, hal seperti ini telah dilakukan oleh majalah BusinessWeek lewat layanan terbaru mereka, Business Exchange. Walaupun masih dalam versi Beta, layanan ini sudah menarik banyak peminat. Layanan yang diluncurkan pada 8 September 2008 lalu ini pada dasarnya merupakan sebuah forum diskusi antara para users. Setiap user bisa menciptakan topik untuk kemudian didiskusikan dengan yang lain.

Topiknya sendiri sangat beragam, namun masih terkait dengan bisnis. Misalnya saja masalah resesi, tingginya harga minyak, soal Pemilu Presiden di Amerika, sampai soal Windows 7. Tidak setiap topik atau komentar bisa dimuat. Tim editor dari BusinessWeek akan memeriksanya paling lambat dalam waktu 24 jam, untuk melihat apakah topik atau komentar yang dikirimkan relevan.

Setiap topik, selain diisi oleh komentar atau masukan dari users, juga bisa diperkaya dengan berbagai berita, blog, atau referensi lainnya yang ditambahkan sendiri oleh users. Nah, di sinilah keunikan Business Exchange. Referensi tambahan itu tidak dibatasi hanya dari situs BusinessWeek.com saja, namun bisa juga dari situs lainnya yang sebenarnya merupakan pesaingnya. Pada topik Windows 7 misalnya, ada links ke CNET, PC World, New York Times, dan lainnya.

Padahal, dalam bisnis media online, click rate merupakan salah satu ukuran yang dipakai untuk menarik minat pengiklan. Dengan menaruh links ke para pesaing di situsnya tadi, bisa dibilang, sederhananya, BusinessWeek menaruh produk pesaing di tokonya!

Lantas, kenapa BusinessWeek mau melakukan hal ini? Buat saya ini jelas menunjukkan komitmen BusinessWeek terhadap pelanggannya. Pelanggan BusinessWeek yang mayoritas kalangan profesional disediakan informasi dan insight yang relevan dan luas, tidak peduli dari mana asalnya. Dengan demikian, para users tadi bisa membuat keputusan yang lebih baik dalam soal bisnis, investasi, atau karir mereka.

Selain itu, setiap users Business Exchange ini harus melakukan registrasi terlebih dahulu dan mengisi data diri. Data ini bisa diakses oleh users lainnya sehingga bisa menciptakan networking di antara users sendiri. Bagi saya, Business Exchange ini sangat menarik, karena menggabungkan antara vertical media, user-generated content, dan social networks.

Business Exchange ini punya kredibilitas layaknya vertical media (koran, majalah) karena dikelola oleh BusinessWeek. Users-nya juga jelas identitasnya serta punya kredibilitas karena merupakan para pakar dan profesional di bidangnya masing-masing. Lalu, isinya juga merupakan gabungan dari berita yang ditulis oleh BusinessWeek dan tulisan para users-nya sendiri. Selain itu juga ada pengayaan dari berbagai situs lainnya tadi yang juga punya kredibilitas. Hal seperti ini pada akhirnya mampu menciptakan collective wisdom.

Di lanskap New Wave yang setiap detiknya bisa muncul ribuan informasi di Internet, jelas model Business Exchange ini akan sangat membantu. Pelanggan tidak disodori mentah-mentah informasi sepihak dari pihak perusahaan (baca: BusinessWeek), namun juga tidak begitu saja menerima informasi dari sembarang orang. Karena itu, informasi yang ada di Business Exchange ini merupakan informasi yang sangat berharga yang luas, dalam serta kredibel.

Dan, karena tiap users bisa melakukan koneksi dengan users lainnya, maka ini bisa menciptakan social networking alias membentuk komunitas. Inilah contoh langkah komunikasi yang cerdas dalam era New Wave Marketing. BusinessWeek tidak melakukan langkah promosi besar-besaran, namun lebih memilih membangun dan memperkuat komunitasnya dengan menciptakan Conversation di antara para users (pelanggan)-nya.

Hal inilah yang merupakan perubahan dari bentuk komunikasi yang bersifat ”informing, persuading, reminding” menuju ke ”demonstrating, involving, empowering”; seperti dikatakan Mich Matthews dari Microsoft yang dikutip Joseph Jaffe dalam bukunya Join the Conversation.

Komunikasi yang dilakukan tidak bersifat satu arah dan seolah menganggap bahwa pelanggan akan menerima begitu saja apa-apa yang ditawarkan dan dikatakan. BusinessWeek berupaya melibatkan dan memberdayakan pelanggan dalam suatu komunitas sehingga diharapkan pada akhirnya pelanggan bisa merasakan manfaatnya sendiri.

Bisa dilihat, Conversation bukan sekadar word-of-mouth atau buzz marketing. Dalam Conversation, pelanggan tidak harus bicara soal merek atau merekomendasikan sesuatu. Conversation dalam era New Wave Marketing merupakan kebutuhan bagi seseorang untuk menjadi manusia yang lebih berpengetahuan dan beradab (knowledgeable and civilized).

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

The Hunt for the Pirates of the Caribbean: by Volvo

The Hunt for the Pirates of the Caribbean: by Volvo
Getty Images/ Mark Renders
Volvo
/
Artikel Terkait:

* Victoria's Secret Fashion Show: "The Glamour is Back!"
* Product (RED): The Bono Way to Save Africa
* It's not Selling anymore, It's Commercialization!
* CNN iReport: When Steve Jobs Had a "Heart Attack"
* Business Exchange: Creating Conversation with Customers

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Senin, 24 November 2008 | 06:01 WIB

ANDA tentu tahu trilogi film “Pirates of the Caribbean”, bukan? Film yang dibintangi oleh Johnny Depp, Orlando Bloom, dan Keira Knightley ini memang termasuk salah satu film tersukses dalam sejarah. Secara keseluruhan, ketiga filmnya menghasilkan 2,7 miliar dollar AS!



Rupanya kesuksesan franchise film ini menarik perhatian Volvo. Pada Mei 2007 lalu, untuk mempromosikan produk terbarunya, Volvo XC90 SUV, produsen otomotif asal Swedia ini meluncurkan program yang disebut “The Hunt”. Waktunya memang sengaja berdekatan dengan peluncuran seri terakhir dari trilogi film tadi yang berjudul “Pirates of the Caribbean: At World’s End” yang ditayangkan mulai 25 Mei 2007.



“The Hunt” ini secara garis besar adalah kompetisi adu kepintaran dan adu cepat, di mana pemenangnya akan mendapatkan hadiah emas senilai 50 ribu dollar AS dan sebuah mobil Volvo XC 90!



Nah, “The Hunt” ini dikemas layaknya pencarian sebuah harta karun seperti kisah film “Pirates of the Caribbean”. Kompetisi ini menggabungkan media online dan offline. Peserta diajak untuk memecahkan soal teka-teki (puzzle) yang secara keseluruhannya ada 22 teka-teki.



Pertama-tama peserta diminta untuk mengakses situs www.volvocars.com/thehunt. Di halaman awal ada pilihan negara asal peserta. Ada 22 negara di situ, termasuk Indonesia.



Pilihan negara ini nantinya diperlukan untuk mengambil petunjuk yang ada di dealer Volvo di negara yang bersangkutan. Selain itu, pada babak akhir, dari masing-masing negara hanya akan dipilih satu orang finalis yang berhak mewakili negaranya masing-masing.



Terakhir saya cek, untuk pilihan negara Indonesia di situs “The Hunt” tadi, isinya sudah kosong. Kompetisinya sendiri memang sudah berakhir. Tapi kalau penasaran, Anda bisa meng-klik pilihan negara lainnya. Di situ seluruh teka-tekinya masih ada.



Teka-tekinya sendiri memang sangat unik dan juga sangat susah. Pada setiap teka-teki, kita diminta untuk menemukan angka-angka yang menunjukkan koordinat lokasi berikutnya. Jadi, angka-angka yang didapat di teka-teki nomor 9 misalnya, merupakan koordinat lokasi teka-teki nomor 10. Begitu seterusnya.



Teka-teki ini bukan sekadar semacam teka-teki silang (TTS) atau hitung-hitungan biasa. Ada teka-teki yang berupa visual, ada juga yang berdasarkan suara. Kadang disertai petunjuk, kadang tidak sama sekali. Pada suatu tahap kita juga akan diminta untuk mengambil semacam peta dari dealer Volvo terdekat. Peta ini bukan hanya untuk dilihat saja, namun juga kadang harus dilipat berulang kali, atau bahkan kita tempelkan ke layar komputer atau laptop kita.



Sangat menarik, bukan?



Tak heran kalau “The Hunt” ini mampu menarik ratusan ribu peminat. Muncul sejumlah forum diskusi online yang membahas “The Hunt” ini. Di sini setiap orang tidak segan-segan membagi kiatnya dalam memecahkan sebuah teka-teki.



Ini menunjukkan bahwa walaupun saling berkompetisi, ada semangat kebersamaan di antara peserta yang dilandasi values dan interest yang sama. Rata-rata peserta pasti memiliki intellectual curiosity yang tinggi. Ada semacam kepuasan tersendiri kalau bisa memecahkan teka-teki tersebut, dan kemudian membaginya kepada orang lain.



Mau tahu siapa pemenangnya?



Namanya Alena Zvereva. Wanita asal Rusia inilah yang akhirnya beruntung mendapatkan Volvo XC 90 dan emas senilai 50 ribu dollar AS tadi setelah sebulan berkompetisi.



Nah, bagi saya, “The Hunt” dari Volvo ini menunjukkan praktik yang sempurna dari Taktik Pemasaran dalam era New Wave Marketing untuk memenangkan market share.



“The Hunt” ini tidak sekadar melakukan Diferensiasi, Marketing-Mix (Product, Price, Place, Promotion), dan Selling seperti yang ada dalam Legacy Marketing. “The Hunt” sudah melakukan Coding, Crowd-Combo (Co-Creation, Currency, Communal Activation, Conversation), dan Commercialization.



Volvo berhasil meng-Coding “DNA” produk Volvo XC 90 SUV-nya dan menemukan bahwa ada unsur “petualangan” di situ. Volvo juga berhasil mendapatkan mitra yang tepat yang sesuai dengan “DNA”-nya tadi, yaitu film “Pirates of the Caribbean.”



Dan, untuk lebih memperkuat “DNA” ini, Volvo tidak hanya melakukan sponsorship atau brand placement seperti yang biasa dilakukan merek-merek lain terhadap sebuah film. Volvo menempuh langkah untuk lebih mengaktifkan pelanggan sehingga pelanggan bisa merasa lebih immerse dengan karakter Volvo XC 90 SUV itu.



Langkah seperti ini juga terbukti mampu menimbulkan Conversation yang cukup intens. Sinergi antara media online (Internet) dan media offline (peta, dealer) seperti tadi juga bisa dibilang merupakan sebuah terobosan.



Volvo, dengan “The Hunt”-nya, telah menunjukkan bahwa tantangan yang ada di lanskap New Wave yang seperti galaksi tanpa batas ini justru bisa dijadikan peluang untuk menghasilkan sesuatu yang sangat kreatif.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

Don't Forget the Heart Share

Don't Forget the Heart Share!: The SQ006 Case
EPA/SINGAPORE AIRLINE
Airbus A380 milik Singapore Airline terlihat pada gambar tertanggal 18 Maret. Salah satu dari tiga pesawat jenis ini, yang dimiliki maskapai Singapura tersebut, sedang dilarang terbang. Sejak Singapore Airline mengoperasikan pesawat seri A380 tahun 2007, sudah tiga kali masalah yang terjadi.
/
Artikel Terkait:

* The Hunt for the Pirates of the Caribbean: by Volvo
* Victoria's Secret Fashion Show: "The Glamour is Back!"
* Product (RED): The Bono Way to Save Africa
* It's not Selling anymore, It's Commercialization!
* BNI Gandeng 3 Perusahaan Asuransi

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Selasa, 25 November 2008 | 07:12 WIB

MASIH ingat musibah yang menimpa maskapai penerbangan Singapore Airlines (SQ) sekitar 8 tahun lalu? Ketika itu, tepatnya tanggal 31 Oktober 2000 sekitar pukul 11 malam waktu setempat, pesawat Singapore Airlines Flight 006 (SQ006) mengalami kecelakaan fatal di Bandara Chiang Kai-Shek, Taiwan. Pesawat dengan rute Singapura - Los Angeles via Taiwan ini berada di runway yang salah ketika hendak lepas landas. Pesawat ini menabrak sejumlah perlengkapan konstruksi, termasuk ekskavator dan buldozer, yang ada di runway tersebut.



Inilah kecelakaan fatal pertama yang dialami SQ. Musibah ini menghancurkan pesawat Boeing 747-412 itu serta menewaskan 83 orang yang terdiri dari 79 penumpang dan 4 awak kabin. Secara keseluruhan sendiri ada 159 penumpang dan 20 awak kabin di pesawat itu.



Sejumlah hal disebutkan menyebabkan kecelakaan ini. Adanya masalah human error serta hujan badai dan pencahayaan yang kurang di sekitar bandara menyebabkan pesawat tersebut berada di jalur yang salah.



Setelah kecelakaan itu terjadi, Deputy Chairman dan CEO Singapore Airlines, Dr. Cheong Choong Kong, langsung mengadakan jumpa pers. Acara ini disiarkan langsung oleh Channel News Asia, stasiun televisi dari Singapura.



Walaupun saat itu belum dilakukan penyelidikan, Dr. Cheong, yang tampak sangat kelelahan, menyatakan penyesalannya dan meminta maaf atas musibah yang terjadi. Ia bilang, apapun penyebabnya, pesawat itu adalah pesawat SQ. Ia tidak mencoba mencari-cari alasan atau menyalahkan pihak lain atas musibah yang terjadi.



Pada tanggal 4 November 2000, SQ juga langsung menawarkan semacam uang duka-cita kepada para korban. Keluarga korban yang meninggal masing-masing mendapatkan 400 ribu dollar AS, sementara yang selamat masing-masing mendapatkan 20 ribu dollar AS. Ini di luar biaya pengobatan bagi mereka yang luka-luka atau harus dirawat di rumah sakit.



Lalu, beberapa waktu kemudian, ketika mulai dilakukan penyelidikan, SQ juga bersikap sangat kooperatif dengan otoritas penegak hukum di Taiwan. SQ tidak berupaya menghalang-halangi pemeriksaan terhadap ketiga pilot SQ006.



Penanganan SQ pasca musibah ini pun mendapat pujian dari banyak kalangan. Mereka menyebut penanganan musibah SQ006 yang dipimpin langsung oleh Dr. Cheong tadi sebagai “nothing short of outstanding”.



Hasilnya bisa kita lihat sekarang. Reputasi SQ tidak terpengaruh dan tetap menjadi maskapai penerbangan nomor satu di dunia.



Nah, buat saya, ini menunjukkan bahwa SQ telah berhasil memenangkan heart share, bukan sekadar menjadi jawara di mind share dan market share.



Sebuah perusahaan bisa saja tidak menjadi top of mind lagi atau pangsa pasarnya agak menurun karena berbagai sebab. Namun, kalau sudah masuk ke hati pelanggan, hal seperti ini tidak akan berlangsung lama. Dalam jangka panjang, perusahaan tersebut tetap akan menjadi pilihan utama para pelanggan.



Perusahaan-perusahaan yang bisa survive dan terus berkembang di era New Wave Marketing seperti SQ ini memang bukan mengejar keuntungan jangka pendek, tetapi bertujuan untuk menciptakan customer value demi kepentingan relasi jangka panjang.



Value sendiri merupakan bagian ketiga dari konsep Pemasaran setelah Strategi dan Taktik. Kalau Strategi bertujuan untuk memenangkan mind share dan Taktik untuk memenangkan market share, maka Value ini bertujuan untuk memenangkan heart share.



Value ini terdiri dari tiga elemen, yaitu Brand, Servis, dan Proses (BSP). Brand atau merek merupakan value indicator yang memungkinkan perusahaan atau produk menghindari perangkap komoditas alias jadi punya nilai di mata pelanggan.



Sementara Servis adalah paradigma perusahaan untuk selalu memenuhi atau melampaui kebutuhan, keinginan, dan ekspetasi pelanggan. Servis inilah yang merupakan value enhancer dari perusahaan.



Dan elemen terakhir dari Value Pemasaran adalah Proses. Proses adalah value enabler perusahaan yang memungkinkannya untuk memberikan value kepada pelanggan.



Dari penanganan kasus SQ006 tadi, bisa kita lihat bahwa Servis dan Proses-nya berjalan dengan sangat baik sehingga Brand-nya tetap terjaga utuh walaupun sedang mengalami krisis.



Kepentingan pelanggan, dalam hal ini penumpang dan keluarganya, menjadi prioritas utama. Semua informasi yang dibutuhkan disediakan dengan cepat sehingga para keluarga tidak kebingungan. Proses pengeluaran dana juga dilakukan dengan cepat tanpa menunggu birokrasi yang bisa berbelit-belit.



Itulah peranan Value Pemasaran untuk memenangkan heart share.



Nah, kalau di era New Wave Marketing ini, istilah yang lebih tepat bukan lagi Brand, Servis, dan Proses, namun menjadi Character, Caring, dan Collaboration. Saya akan jelaskan lebih detil soal ini dalam tulisan-tulisan selanjutnya.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

It's not Brand anymore, It's Character!

It's not Brand anymore, It's Character!
business-designers.com
/
Artikel Terkait:

* Don't Forget the Heart Share!: The SQ006 Case
* The Hunt for the Pirates of the Caribbean: by Volvo
* Victoria's Secret Fashion Show: "The Glamour is Back!"
* Product (RED): The Bono Way to Save Africa
* It's not Selling anymore, It's Commercialization!

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Rabu, 26 November 2008 | 07:18 WIB

TAHUKAH Anda, dari mana istilah opera sabun (soap opera) itu muncul? Ternyata istilah ini mulai ada sejak tahun 1930-an. Waktu itu Procter & Gamble (P&G) memproduksi dan mensponsori opera radio pertama. Nah, P&G ini sudah lama dikenal sebagai produsen sabun. Sabun Ivory misalnya, sudah dipasarkan P&G sejak tahun 1880-an. Pada tahun 1890-an, P&G bahkan sudah memproduksi lebih dari 30 jenis sabun.



Jadi, ketika P&G mensponsori opera radio tadi, orang pun lantas menyebutnya dengan istilah “opera sabun.” Opera radio ini memang ditujukan untuk ibu-ibu rumah tangga, sehingga disiarkan pada siang hari. Ketika televisi mulai populer pada tahun 1950-an sampai 1960-an, opera sabun ini pun pindah ke media televisi dan tetap secara rutin disponsori merek-merek dari P&G seperti deterjen ”Tide”, shampo ”Prell”, pasta gigi ”Crest”, pelembut pakaian ”Drowny”, atau popok bayi ”Pampers”.



Dengan mempopulerkan merek-mereknya secara massal seperti ini, maka bisa dibilang bahwa P&G-lah yang menjadi pelopor dalam konsep Brand Management.



Brand Management ini merupakan bagian dari Marketing Trilogy selain Product Management dan Customer Management.



Product Management menjadi konsep pertama yang lahir. Ketika itu orang belum terlalu mengenal pentingnya pengelolaan merek karena pesaing masih sedikit. Product Management ini membahas antara lain tentang product lifecycle (PLC). Jadi, di sini intinya adalah bagaimana caranya sebuah perusahaan mengelola produknya sehingga tidak menurun penjualannya (decline).



Setelah itu, orang mulai bicara soal Brand Management. Pesaing mulai bermunculan, media massa juga mulai tumbuh dan berkembang. Karena itulah perusahaan memerlukan pengelolaan merek untuk menjadikan produknya lebih dikenal orang; seperti yang dilakukan P&G tadi.



Dan terakhir, seiring dengan perkembangan teknologi, lahirlah Customer Management. Teknologi ini memungkinkan perusahaan untuk mengenali pelanggannya dengan lebih detil. Dengan demikian perusahaan juga bisa melakukan up-selling dan cross-selling kepada pelanggan sesuai dengan profil pelanggan tersebut.



Di sinilah mulai dikenal konsep customer-centric yang pada intinya produsen berupaya menyediakan produk-produk yang dibutuhkan pelanggan, bukan lagi menyodorkan produk kepada pelanggan dengan anggapan bahwa pelanggan akan membelinya begitu saja.



Itulah sekilas tentang apa yang disebut sebagai Marketing Trilogy.



Sekarang kembali ke soal Brand Management. Perusahaan melakukan langkah pengelolaan merek ini untuk meningkatkan value terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Merek inilah yang pada akhirnya akan menjadi ”pembeda” antara satu produk dengan produk lainnya di mata pelanggan sesuai value-nya.



Sekali lagi saya ulangi, value ini—atau lengkapnya customer value karena ditinjau dari sudut pandang pelanggan—definisinya adalah hal-hal yang diterima pelanggan ketika membeli produk dibandingkan apa yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan produk tersebut.



Manfaat yang diterima ini berupa manfaat fungsional dan manfaat emosional. Sementara pengeluaran pelanggan berupa harga produk tersebut dan pengeluaran-pengeluaran lain yang harus dikeluarkan pelanggan.



Jadi, kalau dibilang sebuah produk memiliki value tinggi, artinya manfaat yang diterima lebih besar dibanding pengeluaran yang harus dibayar pelanggan.



Bisa saja sejumlah produk manfaat fungsionalnya sama atau tidak jauh berbeda, namun karena manfaat emosional yang dirasakan pelanggan berbeda, maka sebuah produk harganya bisa jauh lebih mahal ketimbang yang lain. Nah, merek inilah yang bisa meningkatkan manfaat emosional kepada sebuah produk.



Namun, pada era New Wave Marketing, istilah yang lebih tepat bukan lagi brand atau merek, tapi Character.



Layaknya manusia, karakter ini pada dasarnya sama dan tetap, sesuai dengan DNA-nya. Seseorang bisa gonta-ganti baju, mengubah potongan rambut, atau bahkan melakukan operasi plastik, namun tetap saja DNA-nya tidak bisa berubah.



Begitu juga merek. “Baju” atau kemasannya bisa berganti-ganti, namun kita tetap akan bisa mengenali karakternya.



Lihat saja logo MTV. Tidak ada logo yang baku, selalu berubah-ubah. Namun, kita tetap bisa mengenali bahwa itu merupakan merek dari MTV.



Contoh lain adalah avatar kita yang ada di Yahoo! Messenger. Avatar ini bisa kita ganti setiap saat dengan gambar apa saja, namun tetap saja teman chatting akan mengenali kita.



Kalau sudah begini, mungkin tidak lagi diperlukan brand book atau brand manual. Biarkan kemasan merek kita berubah-ubah, yang penting karakternya tetap. Kedinamisan ini sekaligus menunjukkan semangat muda kita. “Muda” dan “dinamis” inilah yang menunjukkan paradigma horisontal di era New Wave Marketing.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

Dealing with Customer's Life

Mayo Clinic: Dealing with Customer's Life
Tpgimages
/
Artikel Terkait:

* Changi: The Destination Airport
* It's not Service anymore, It's Caring!
* "Face/Off": When John Travolta Becomes Nicolas Cage
* It's not Brand anymore, It's Character!
* Don't Forget the Heart Share!: The SQ006 Case

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Senin, 1 Desember 2008 | 06:40 WIB

SEPERTI pernah saya ceritakan sebelumnya, sejak pertengahan Oktober sampai awal November lalu saya pergi ke Amerika. Di situ saya sempat melakukan general check-up di Mayo Clinic di Rochester, Minnesota, Amerika, dari tanggal 20 sampai 24 Oktober. Nah, selama di sinilah saya merasa takjub, betapa proses yang ditunjang dengan teknologi dan manusia (process, people, technology/PPT) menjadikan proses tersebut berlangsung horisontal. Tidak lagi terjadi silo-silo alias vertikal.

Ceritanya begini. Ada dokter koordinator yang namanya Salma Iftikhar, M.D. Setelah bertemu saya, ia kemudian memasukkan semua catatan kesehatan saya ke dalam komputer. Terus ia menentukan, tes apa saja yang harus dilakukan. Juga dokter spesialis apa saja yang harus saya temui. Hebatnya, setiap kali ada tes atau konsultasi, hasilnya bisa langsung masuk ke komputer. Sehingga semua dokter—yang merawat saya semuanya ada 5 dokter—bisa langsung melihat datanya. Komentar mereka juga bisa dimasukkan ke komputer.

Jadi, prosesnya berlangsung sangat efisien dari sisi waktu. Semuanya bisa dilakukan secara paralel. Team work juga bisa jalan walaupun seluruh dokter tadi tidak pernah bertemu sama sekali. Bisa dilihat bagaimana teknologi yang canggih serta orang-orang yang kompeten dan terlatih mampu menjadikan proses berlangsung dengan cepat.

Lantas, bagaimana hasil pemeriksaan saya? Ternyata saya clear 100%, walaupun sudah terkena diabetes selama 24 tahun. Tentu saja saya senang mendengar hasil pemeriksaan dari Mayo Clinic ini. Reputasinya yang sudah tersebar luas membuat para pasien dari seluruh dunia datang ke sini. Sebagai contoh, almarhum Raja Hussein bin Talal dari Yordania juga pernah dirawat di Mayo Clinic ini. Beliau menghabiskan waktu sekitar 6 bulan untuk perawatan penyakit kanker. Namun, karena memang sudah parah, beliau akhirnya kembali ke Yordania dan meninggal di negerinya tersebut.

Yang menarik, saya juga melihat ada pesawat Saudi Arabian Airlines sewaktu mendarat di bandara Rochester yang kecil. Ternyata itu adalah pesawat sewaan (charter flight), yang membawa orang-orang paling kaya di seluruh dunia yang berasal dari Timur Tengah. Padahal, Mayo Clinic ini bisa dibilang tidak pernah menggunakan iklan untuk mempromosikan dirinya. Institusi ini bahkan tidak punya staf marketing sampai tahun 1986. Dan dari tahun 1986 sampai tahun 1992, yang namanya departemen marketing cuma terdiri dari 1 orang!

Nah, kalau dulu orang belajar servis dari hotel, sekarang musti belajar Caring dari hospital business seperti Mayo Clinic ini. Seperti yang dikatakan oleh Leonard L. Berry dan Kent D. Seltman dalam buku yang berjudul Management Lessons from Mayo Clinic, pelanggan institusi kesehatan seperti Mayo Clinic punya karakteristik yang berbeda dibanding industri lain. Di hospital business ini, pelanggan alias pasien sedang sakit sehingga dalam kondisi yang sangat tertekan. Pelanggan juga bukan sekadar mampir layaknya di toko, namun malah bisa menginap di tempat kita.

Lalu, layanan terhadap pelanggan di hospital business ini juga harus sangat personal; bukan hanya kondisi kesehatannya yang diperhatikan, namun juga faktor-faktor seperti usia, status mental, kepribadian, preferensi, pendidikan, situasi keluarga, dan kendala keuangan juga harus diperhatikan. Dan yang tak kalah penting, kalau penanganan pelanggan ini salah, akibatnya bisa sangat fatal.

Bisa dilihat bahwa penanganan pelanggan di sini bukan sekadar layanan biasa, namun harus benar-benar diperhatikan dan dirawat sepenuh hati alias Caring. Tak heran jika kedua penulis tadi, Berry dan Seltman, menyatakan bahwa Mayo Clinic merupakan “one of the world’s most admired service organizations.”

Dr. William J. Mayo, salah seorang pendiri Mayo Clinic, mengatakan pada tahun 1910 bahwa “The best interest of the patient is the only interest to be considered.” Menurutnya, pasien itu bukan seperti kereta, yang bisa diperbaiki komponen-komponennya secara terpisah. Pasien harus diperiksa dan diperlakukan secara keseluruhan, sebagai manusia. Dr. Mayo ini percaya bahwa seorang dokter spesialis harus bekerja sebagai bagian dari sebuah unit kesatuan ketika menangani pasien.

Para dokter di Mayo Clinic ini memang sangat peduli terhadap pasiennya. Mereka sendiri yang menjemput kita dan mengantarkan keluar kamar praktik, bukan perawat. Mereka semua ramah seperti teman sendiri. Sumber daya manusia ini didukung oleh teknologi yang canggih. Beberapa teknologi untuk mendiagnosis pasien dikembangkan oleh IBM yang punya fasilitas manufaktur dan pengembangan di Rochester juga.

Nah, untuk menangani pelanggan dengan sepenuh hati seperti ini, Mayo Clinic mampu mengintegrasikan antara process, people, dan technology (PPT) tadi. Inilah kunci sukses dalam melakukan Caring di era New Wave Marketing.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Hermawan Kartajaya

Konsep Baru marketing "Be A Hero"

Hermawan Ajarkan Konsep Baru "Be A Hero"
Kamis, 27 November 2008

Konsep-konsep baru dalam dunia marketing yang dilontarkan Hermawan Kartajaya tercipta dengan berbagai latar belakang. Salah satu yang terbaru adalah sebutan be a hero. Konsep itu didapat Hermawan setelah dia bertemu profesor psikologi industri dari University of Nebraska-Lincoln Fred Luthens. "Jika konsep saya digabungkan dengan Luthens, jadinya The Marketing of Hero," ujarnya.

Hero itu merupakan sebuah akronim. Huruf H berarti hope. "Ini berkaitan dengan the will and the way. Kalau ada will (keinginan), pasti akan ada way (jalan)," ucapnya.

Huruf E merupakan kependekan dari efficacy. "Ini berkaitan dengan confident to succeed, percaya untuk bisa sukses. Percaya adalah setengah jalan untuk mencapai sesuatu," terang Hermawan yang mengutip ucapan koleganya dari AS itu.

Sedangkan R ialah resilience. "Penjelasannya adalah bouncing back and beyond (merunduk untuk kemudian melenting jauh ke atas, Red)," papar peraih gelar S2 dari Strathclyde, Glasgow, Inggris, tersebut.

Menurut Hermawan, sifat itu penting, terutama bila terkait dengan kesulitan hidup. "Jadi, bila terjatuh, jangan putus asa. Harusnya, dibuat momen untuk melenting ke atas," jelasnya.

Sedangkan abjad terakhir, O, merupakan kependekan dari optimism. Menurut Hermawan, bila optimistis, seseorang harus realistic dan flexible. "Bisa terlihat dari sikapnya yang selalu happy dan jauh dari stres," tuturnya.

Hermawan kemudian melontarkan joke. "Ada penelitian yang menyebutkan, orang yang jauh dari stres itu bisa memperpanjang hidup sampai sepuluh tahun. Makanya, bagi perokok, penting untuk tidak stres," urainya.

Apa hubungannya perokok dengan tak stres? Hermawan mengatakan, kalau mengisap satu batang rokok mengurangi hidup selama lima menit, tapi bila tidak stres, hidupnya memanjang sepuluh tahun. "Jadi, masih ada sisa sembilan tahun, 364 hari, 23 jam, dan 55 menit."(ano/ayi/jpnn)

Berkurban Menurut Sunnah Nabi

HUKUM BERKURBAN
+ selengkapnya
Indeks Kaffah

* Antara Bangsa, Budaya dan Agama
* Shalatnya Piket Penjaga ( Satpam )

Kacamata,Pelindung dan Penunjang Gaya

FUNGSI kacamata makin meluas. Tak sekadar alat bantu penglihatan,...
+ selengkapnya
Indeks Bugar

* Perawatan, Pilih Sabun dan Tisu Lembut
* Kacamata Fotogrey

Hermawan Ajarkan Konsep Baru "Be A Hero"

Konsep-konsep baru dalam dunia marketing yang dilontarkan Hermawan...
+ selengkapnya
Indeks Mekar

* Belajar dari Rontoknya Beanstock
* Memutar Uang untuk Modal

© Copyright by IT Dept. Batam Pos.