Thursday, November 27, 2008

Belajar dari Rontoknya Beanstock

Belajar dari Rontoknya Beanstock
Rabu, 26 November 2008
Nama aslinya Ashari Yusuf, ia kini tengah mengurus perubahan nama menjadi Ashari Coffee. Nama baru di belakang namanya bukan sebuah gagah-gagahan namun itu adalah sebentuk komitmen untuk tetap bergelut di dunia hitam, kopi. Ia ingin orang mengenalnya sebagai pebisnis kopi hanya dari namanya.
Ashari adalah pendiri Beanstock Coffee Shop. Bisnis ini ia lakoni sejak 14 Mei 2002 lalu. Perlahan-lahan bisnis ini menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, namun pelahan-lahan juga mengalami kemerosotan hingga rontok. Dari enam gerai yang dimiliki kini hanya tinggal satu gerai saja, sebagai lambang Beanstock masih eksis.

Berbicara coffee shop di Batam, orang pasti mengenal Beanstock, tenda warna hijau menjadi ciri kehadirannya. Beanstock menjadi salah satu alternatif untuk nongkrong sembari menyeruput aneka sajian kopi racikan barista (peracik kopi) tak ayal jika bisnis ini berkembang pesat, hingga bisa membuka lima cabang lainnya dalam tempo singkat.

Tapi siapa nyana perkembangan pesat itu adalah cobaan. Beanstock bejalan tak stabil, Beanstock pun rontok di tengah jalan. Ada yang salah? Ashari bertutur blak-blakan kepada batampos.co.id. "Saya terlalu idealis," aku Ashari. Idealis yang dimaksud adalah di Beanstock dijamin Anda tak akan menemukan menu nasi goreng atau burger seperti di gerai kopi lainnya, yang bisa dijumpai adalah kopi dan penganan kecil teman minum kopi. Ashari benar-benar ingin Beanstock disebut coffee shop bukan gerai resto yang menyediakan kopi.

Begitu teguh ia memang idealisme itu hingga ia bergeming untuk mencoba berimprovisasi menyediakan menu lain selain kopi dan kudapan kecil. Akhirnya, Beanstock rontok.

Alasan kedua adalah harga yang mahal.

Ashari juga mengaku terlalu bersemangat mengembangkan bisnis kopinya sehingga setiap ada investor yang mau gabung ia iya kan selalu.

Rontoknya Beanstock membuat ekonomi Ashari benar-benar terpuruk, utang menumpuk, gaji karyawan pun belum dibayar. "Saya benar-benar capek uang," demikian Ashari menggambarkan kondisinya kala itu. Andai saja ia sanggup, ia akan hentikan putaran bumi terhadap matahari biar siang tak menjelang. "Karena siang berarti jatuh tempo utang saja," katanya.

Begitu sakit dompetnya sampai-sampai Ashari harus menggadaikan giwang istrinya untuk membayar gaji karyawan. "Saya pergi ke pegadaian di Sungai Panas," kisahnya.

Pria kelahiran 1974 ini dengan gagah datang ke pegadaian. "Saya tidak malu karena ini tanggung jawab saya sebagai pengusaha," imbuhnya. Dengan uang inilah ia membayar gaji karyawan. Ashari beruntung karena akhirnya giwang itu berhasil ia tebus.

Kapok? Bisnis coffee shop tidaklah murah. Untuk satu gerai dibutuhkan modal setidaknya Rp150 juta, namun tutupnya lima gerai kopinya tidak membuat Ashari berpaling. Ia tetap berbisnis di bidang kopi. Ia emoh untuk beralih ke lain hati. Ashari melihat ke depan bisnis kopi sangat menjanjikan dan bisa menghasilkan uang.

"Lagi pula ilmu kopi bisa saya bawa ke mana-mana, di mana pun orang di dunia, minum kopi," ulas pria yang sejak SMA mulai berbisnis ini.

Awal jatuh cinta kepada bisnis adalah pada 2004 lalu setelah ia hadir dalam pameran kopi sedunia di Singapura. Ia melihat betapa dahsyatnya bisnis kopi dunia. Semangat itu ia bawa ke Batam kini dan hingga nanti. Ia juga telah mengikuti pelatihan seputar kopi, aneka resep kopi pun telah ia miliki.

Bagi ayah seorang bocah ini, rontoknya Beanstock adalah mirip rontoknya daun di pohon yang kelak ia akan bersemi kembali. Baginya inilah fokus, inilah komitmen. Dalam bisnis ia menilai butuh fokus. "Jangan berhenti bila gagal, bernhentilah saat setelah sukses," pesan Ashari.

Maksudnya, adalah jamak gagal di satu bisnis lalu mencoba bisnis di sektor lain, namun itu bukan sikap Ashari. "Kalau demikian, saya takut setiap mencoba atau berpindah ke bisnis lain kita akan mengalami berulang dan berulang," katanya. Ujungnya, ya selalu saja gagal.

Sementara kalau fokus ia yakin kelak akan menemukan celah untuk tetap eksis dan berkembang pesat. "Saya ingin jadi ahli," ucapnya. Orang tuanya berpesan, jadi apapun harus ahli. Jadi tukang rumput sekalipun harus ahli, saat walikota butuh perbaiki taman walikota akan memanggil si tukang rumput, demikian pesan orang tuanya.

Ashari belajar, dalam industri ritel terkenal dunia sekalipun pernah mengalami kerontokan. Tapi ini bukan gagal. "Gagal itu saat jatuh tak bangun lagi," jelasnya. Bahwa ada kejatuhan adalah wajar, karena untuk bangkit tentu harus ada proses jatuh, demikian ia mencoba berfilosofi. Seperti halnya keinginan masuk surga harus mati dahulu barulah kita bisa masuk surga.

Seperti judul sebuah sinetron roda bisnis Beanstock sedang diuji dengan jalan termehek-mehek.

Palajaran dari kasus ini bagi Ashari adalah bisa menjaga emosi. Sukses dan gagal adalah cobaan. Disaat mengalami keduanya harus bisa menjaga emosi. Dalam sejarah bisnisnya, Ashari telah mengalami cobaan itu.

Untuk pembaca batampos.co.id, Ashari mengajak untuk fokus dalam berbisnis. (putut)

Memutar Uang untuk Modal

Memutar Uang untuk Modal
Rabu, 19 November 2008
Nugroho Mulyono

Semangat berwirausaha yang ada sejak bangku kuliah membuat Nugroho senantiasa gelisah saat harus bekerja di Muka Kuning, Batam. Delapan tahun di sana Nugroho selalu pindah-pindah PT. Sarjana elektro Universitas Brawijaya ini tak sanggup harus bekerja dengan jadwal ketat. “Untuk pulang pun harus mengendap-endap,” kenangnya sembari terkekeh lepas.


Saat masih kuliah di Malang , arek Surabaya ini sudah suka berdagang. Macam-macam yang ia jual. Tak heran jika ia gak betah “dipeluk” sejuknya AC pabrik. Akhirnya 2005 ia memutuskan untuk keluar dari PT. “Dengan kesadaran sendiri saya keluar,” tegasnya.

Hendak kerja apa? Nugroho belum tahu. Yang ia tahu ia harus berbisnis. Apalagi ia harus membiayai anak dan istri. Berjualan jajanan yang didatangkan dari Bandung ia lakoni. “Saya plastiki sendiri lalu dititipin ke toko-toko,” kenangnya. Kini usaha ini masih berjalan namun dikelola orang lain.

Pada masa transisi itu bukan sebuah masa mudah ayah dua anak ini. Ia sempat dicibiri sebagai bapak rumah tangga karena tidak bekerja, sementara istrinya bekerja.

Cibiran ini bukan menyayat hati sebaliknya melecut diri untuk membuktikan bahwa pilihannya adalah benar. Benar, kini ia bisa memiliki sebuah CV dan duduk sebagai bos, jabatan resminya sih Managing Director. Usaha yang ia geluti adalah agen tiket, tours dan travel.

Dalam tempo 1,5 tahun ia merentang sayap dengan membuka lima kantor. Kantor utama adalah di Panbil Mall, Muka Kuning, tak jauh dari tempatnya dulu bekerja. Strategi meluaskan cabang ini sempat dikritik terlalu cepat. “Tapi menurut saya ya memang harus seperti itu jalannya,” kilahnya.

Alasannya, kantornya mendekati pangsa pasar. Semuanay dekat dengan komunitas orang. Kantor cabangnya di Blitar dan Surabaya, Jatim memberikan sumbangsih kenaikan omset yang signifikan. Saat perusahaan travel lain bilang seret cari konsumen ia masih tetap bisa tersenyum. ”Saya heran di koran ditulis omset travel turut 50 persen wong tempat saya justru naik sampai 60 persen kok,” kisahnya saat membaca berita di koran.

Pilihan untuk menggeluti sektor wisata ini sejatinya tidak ia sengaja meski tetap sesuai dengan kerangka berpikirnya. ”Saya nggak mau bisnis yang menyetok barang,” katanya.

Bermula dari membantu kawan-kawan sedaerah yang hendak pulang kampung ia mencarikan tiket pesawat. Rupanya kabar kemampuanhya menyediakan tiket beredar cepat dari mulut ke mulut. Ujungnya ia pun memantapkan diri menjadi sub agen tiket. Ia dapat komisi dari agen dari setiap tiket yang bisa ia dapatkan.

Hingga akhirnya ia mendapatkan LG (letter of guarantee) dari maskapai. Ia tidak lagi harus berbagi komisi dengan agen karena ia mendapatkan tiket langsung dari maskapai.

Waktu terus berjalan. Hambatan dan tantangan telah ia lalui. Maskapai semakin percaya kepadanya, target penjualan ticket pun menyapa. Berapapun target yang ditetapkan maskapai selalu ia sanggupi. ”Tidak pun ditarget, kami selalu menentukan target sendiri,” tekadnya.

O, iya modal yang ia buat mendirikan perusahaan tidak kecil tapi ia berhasil melakukannya dengan memutar uang yang ia hasilkan dari menjual tiket.

Kini Nugroho tidak harus berebut kamar mandi dengan istri setiap pagi. ”Mau bangun jam berapapun bisa,” akunya. Wong bos siapa yang berani memarahi ya… (putut)

Hermawan Ajarkan Konsep Baru "Be A Hero"

Hermawan Ajarkan Konsep Baru "Be A Hero"
Kamis, 27 November 2008

Konsep-konsep baru dalam dunia marketing yang dilontarkan Hermawan Kartajaya tercipta dengan berbagai latar belakang. Salah satu yang terbaru adalah sebutan be a hero. Konsep itu didapat Hermawan setelah dia bertemu profesor psikologi industri dari University of Nebraska-Lincoln Fred Luthens. "Jika konsep saya digabungkan dengan Luthens, jadinya The Marketing of Hero," ujarnya.

Hero itu merupakan sebuah akronim. Huruf H berarti hope. "Ini berkaitan dengan the will and the way. Kalau ada will (keinginan), pasti akan ada way (jalan)," ucapnya.

Huruf E merupakan kependekan dari efficacy. "Ini berkaitan dengan confident to succeed, percaya untuk bisa sukses. Percaya adalah setengah jalan untuk mencapai sesuatu," terang Hermawan yang mengutip ucapan koleganya dari AS itu.

Sedangkan R ialah resilience. "Penjelasannya adalah bouncing back and beyond (merunduk untuk kemudian melenting jauh ke atas, Red)," papar peraih gelar S2 dari Strathclyde, Glasgow, Inggris, tersebut.

Menurut Hermawan, sifat itu penting, terutama bila terkait dengan kesulitan hidup. "Jadi, bila terjatuh, jangan putus asa. Harusnya, dibuat momen untuk melenting ke atas," jelasnya.

Sedangkan abjad terakhir, O, merupakan kependekan dari optimism. Menurut Hermawan, bila optimistis, seseorang harus realistic dan flexible. "Bisa terlihat dari sikapnya yang selalu happy dan jauh dari stres," tuturnya.

Hermawan kemudian melontarkan joke. "Ada penelitian yang menyebutkan, orang yang jauh dari stres itu bisa memperpanjang hidup sampai sepuluh tahun. Makanya, bagi perokok, penting untuk tidak stres," urainya.

Apa hubungannya perokok dengan tak stres? Hermawan mengatakan, kalau mengisap satu batang rokok mengurangi hidup selama lima menit, tapi bila tidak stres, hidupnya memanjang sepuluh tahun. "Jadi, masih ada sisa sembilan tahun, 364 hari, 23 jam, dan 55 menit."(ano/ayi/jpnn)

Friday, November 14, 2008

It's not Place anymore, It's Communal Activation!

It's not Place anymore, It's Communal Activation!
TPGIMAGES
Ilustrasi
/
Artikel Terkait:

* Flexible Pricing from Facebook Ads
* "The Price is Really Up to You", Says Radiohead
* It's not Price anymore, It's Currency!
* "The Way I See It" from Starbucks
* "Chicago Crime Scene" from Domino's Pizza

Hermawan Kartajaya
"Hermawan Kartajaya adalah pakar pemasaran dari Indonesia. Sejak tahun 2002, ia menjabat sebagai Presiden World Marketing Association (WMA) dan oleh The Chartered Institute of Marketing yang berkedudukan di Inggris (CIM-UK) ia dinobatkan sebagai salah satu dari "50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing". Saat ini ia juga menjabat sebagai Presiden MarkPlus, Inc., perusahaan konsultan pemasaran yang dirintisnya sejak tahun 1989. Selain aktif menulis buku-buku seputar dunia bisnis dan pemasaran Indonesia maupun internasional, ia juga kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum di berbagai negara."
(Email : newwave@kompas.co.id)
Sabtu, 15 November 2008 | 01:47 WIB

ELEMEN ketiga dari Marketing-Mix adalah Place atau yang sering juga disebut sebagai marketing channel atau saluran distribusi. Saluran distribusi inilah yang berperan dalam menghantarkan produk dari produsen ke pelanggan. Yang termasuk dalam saluran distribusi ini secara sederhana mencakup wholesaler dan peritel (retailer). Wholesaler merupakan “tangan pertama” dari saluran distribusi karena ialah yang mengambil produk langsung dari produsen. Setelah itu, wholesaler menyalurkannya ke peritel, dan dari peritel-lah pelanggan lalu membeli produk tersebut.

Dalam bahasa sehari-hari, saluran distribusi ini lebih dikenal dengan istilah distributor. Peranannya bisa seperti wholesaler saja atau merupakan kombinasi dari wholesaler dan peritel. Jadi yang namanya distributor bisa mengambil barang saja dari produsen, bisa juga sekaligus menjualnya ke pelanggan. Itulah proses yang terjadi dalam saluran distribusi yang merupakan bagian dari supply chain management (SCM). Tentu dalam praktiknya proses yang terjadi jauh lebih rumit, ada yang namanya agen, dealer, reseller, dan sebagainya. Namun secara prinsip peranan masing-masing pihak dan proses yang terjadi tidak jauh berbeda dengan penjelasan di atas.

Sejumlah perusahaan memang tidak memiliki saluran distribusi alias menjual produk secara langsung ke pelanggan. Misalnya saja Dell yang terkenal dengan direct channel-nya. Atau perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor B2B alias industrial market. Ini memang bisa dilakukan karena berbagai alasan. Misalnya saja untuk menekan biaya. Menjual produk secara langsung berarti tidak perlu membayar margin profit atau commission fee kepada saluran distribusi. Alasan lainnya bisa karena sifat produk yang sangat spesifik. Produsen tidak bisa memberikannya kepada pihak ketiga alias saluran distribusi karena ada aspek-aspek kerahasiaan produk yang harus dijaga.

Lalu, di tingkat ritel sendiri, ada beragam jenisnya. Kita bisa membaginya menjadi pasar tradisional (wet market) dan pasar modern. Di pasar modern sendiri bisa lagi dibagi menjadi beberapa jenis seperti Specialty Stores, Supermarket, Convenience Stores, Department Stores, Hypermarkets, atau Category Killers. Karena berhubungan langsung dengan pelanggan, peritel bisa menjadi lebih powerful dibanding produsen. Peritel bisa menentukan, produk apa saja yang bisa masuk ke tempatnya dan berapa margin yang diinginkan. Tidak heran jika pendapatan peritel bisa lebih tinggi dibanding produsen. Di Amerika contohnya, pendapatan Wal-Mart sudah mencapai 3 kali lipat pendapatan P&G.

Itulah sekilas tentang soal Place alias saluran distribusi yang ada dalam Legacy Marketing. Namun, dalam era New Wave Marketing, saluran distribusi ini bentuknya bukan lagi perusahaan-perusahaan distributor atau peritel. Saluran distribusi ini sekarang berupa Communal Activation.

Communal Activation ini berarti mengaktifkan sebuah komunitas lewat para pemimpin atau aktivis komunitas itu. Orang-orang seperti inilah yang mampu memasarkan produk alias Co-Creation kita kepada para anggota komunitas lainnya. Bisa dilihat bahwa ini sejalan dengan proses yang kita lakukan dari awal dalam New Wave Marketing. Kita harus melakukan Communitization terlebih dahulu, meng-Confirm-nya, dan kemudian meng-Clarify Confirmed-Community itu.

Untuk memasarkan Co-Creation kita di dalam komunitas, kita membutuhkan orang-orang yang menjadi simpul-simpul atau aktivis-aktivis di situ. Orang-orang seperti inilah yang akan bicara soal Co-Creation kita. Orang-orang inilah yang akan mempromosikan Co-Creation kita. Dan pada akhirnya orang-orang inilah yang akan menjual Co-Creation kita.

Mengelola para aktivis komunitas ini bagi produsen akan lebih efektif dan efisien ketimbang saluran distribusi tradisional seperti yang sudah dijelaskan di atas. Para aktivis ini bisa berbicara dengan “bahasa” komunitas tersebut. Para aktivis ini sangat memahami anxiety dan desire yang ada dalam komunitas. Biaya yang diperlukan untuk mengelola para aktivis ini juga relatif tidak terlalu besar.

Bagi pelanggan alias anggota komunitas sendiri, para aktivis ini memang lebih dipercaya ketimbang peritel karena memang kepentingan komunitaslah yang diutamakan. Reputasi dan integritas sebagai aktivis atau pemimpin komunitas seperti menjadi jaminan bagi anggota komunitas lainnya.

Di era New Wave Marketing ini, para pemimpin atau aktivis komunitas memang akan semakin berperan sebagai perantara antara produsen dan pelanggan. Karena itulah, Communal Activation menjadi salah satu langkah kunci untuk bisa sukses mengarungi galaksi New Wave yang tanpa batas ini.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas -

Hermawan Kartajaya